Thursday, June 24, 2004

Survei dan Statistik

Oleh Wicaksono untuk Koran Tempo

Seperti halnya tim-tim peserta Piala Eropa, para kandidat presiden juga bisa dilihat berdasarkan hasil survei dan statistik. Survei dan statistik mencerminkan penampilan selama pertandingan dan dapat dipakai untuk meramalkan hasil akhir, meski tidak selalu tepat.

Hasil survei yang dilakukan International Foundation for Election System (IFES) pada 4-7 Juni 2004 menunjukkan, popularitas Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) masih tetap yang tertinggi. SBY mirip Prancis. Sebagai juara bertahan, Zidane dkk cukup konsisten. Setelah menggulung Inggris 2-1, dan ditahan 2-2 oleh Kroasia, Prancis mendepak Swiss 3-1. Penampilan Les Blues yang nyaris tanpa cacat, seperti SBY, membuat mereka diunggulkan lagi jadi juara. Mungkin hanya Dewi Fortuna yang mampu membuyarkan impian mereka.

Dari survei yang sama, terungkap bahwa Amien Rais memperoleh peningkatan popularitas paling pesat dibandingkan kandidat lainnya. Dibandingkan survei sebelumnya pada 20 April-8 Mei, dukungan untuk Amien meningkat 5 persen menjadi 9,8 persen. Hasil survei Lembaga Kajian Demokrasi (LkaDe) menunjukkan hasil yang kurang lebih sama. Selama periode akhir Mei hingga pertengahan Juni, popularitas pasangan calon presiden Amien-Siswono meningkat 4,4 persen menjadi 21,1 persen.

Amien mengingatkan saya pada Portugal. Setelah kalah 2-1 dari Yunani pada partai pertama, grafik permainan Portugal naik terus. Mereka menggilas Rusia 2-0 dan memukul Spanyol 1-0. Kemarin pagi, Figo dkk bahkan menundukkan tim kuat Inggris lewat adu penalti. Ada kemungkinan Portugal bertemu Prancis di partai final sebagaimana halnya SBY bisa jadi bertemu Amien di putaran kedua pemilihan presiden September nanti.

Popularitas Wiranto, menurut IFES, meski di atas Amien, cenderung stagnan. Wiranto kurang populer, menurut LkaDe, karena responden memiliki sentimen antimiliter. Wiranto juga dinilai terkait kasus pelanggaran HAM. Seperti Belanda yang punya nama besar, tapi permainannya kurang meyakinkan - menahan Jerman 1-1, kalah 2-3 dari Ceko, dan baru menang 3-0 dari tim lemah Latvia - peluang Wiranto pun masih meragukan, meski kemungkinan terjadi kejutan.

Sementara itu, berdasarkan survei IFES, popularitas Megawati Soekarnoputi berada di urutan ketiga, setelah SBY dan Wiranto. Jajak pendapat LkaDe menyebutkan, dari para responden yang tidak memilih Megawati, 38,55 persen di antaranya mengaku kecewa dengan kinerja pemerintah saat ini. Megawati juga dianggap gagal memperbaiki kondisi ekonomi.

Banyak pecandu bola yang juga kecewa melihat penampilan Jerman. Punya tradisi bagus di tingkat dunia, Jerman tiga kali juara dunia, bintangnya meredup kali ini. Mereka hanya mampu menahan imbang Belanda 1-1 dan tim "kemarin sore" Latvia tanpa gol. Tim asuhan Rudi Voeller ini bahkan takluk 1-2 oleh Ceko dan terpaksa angkat kaki pagi-pagi. Jerman gagal memperbaiki penampilan mereka.

Berdasarkan data Panitia Pengawas Pemilu, Megawati yang menggandeng Hasyim Muzadi tercatat sebagai pasangan yang paling banyak dilaporkan telah melanggar aturan. Dalam soal pelanggaran, pasangan ini menyamai Swiss yang paling banyak mendapat kartu merah, yakni dua buah. Langkah Swiss terhenti di babak pertama setelah kalah dua kali dan sekali seri.

Bagaimana dengan Hamzah Haz? Dukungan untuk Hamzah cenderung tetap sejak survei pertama IFES, yaitu sekitar 2 persen pada posisi terendah dan tertinggi 6 persen. Kini, calon dari Partai Persatuan Pembangunan ini cuma memperoleh dukungan dua persen. Dia mengingatkan saya pada Bulgaria yang tak pernah menang melawan tim mana pun.

Hasil survei dan statistik di atas akan terbukti nanti setelah 5 Juli 2004, setelah babak final Euro selesai, sesudah kotak-kotak suara dibuka dan dihitung. ***

Mengapa Saya Pilih Euro

Oleh Wicaksono untuk Koran Tempo

Saya suka menonton Piala Eropa 2004 karena beberapa perihal. Yang pertama, lantaran tim-tim yang bertanding umumnya mematuhi asas fair play. Begitu juga dengan para pemainnya. Ada memang satu dua pemain yang bermain keras, mengganjal lawan. Tapi lihat sesudah itu, mereka pasti saling bersalaman, berangkulan, dan berebut bola lagi, seolah tak terjadi apa pun sebelumnya. Tiada ada dendam. Tak ada gontok-gontokan.

Sebaliknya, saya malas mengikuti berita-berita seputar kampanye para kandidat presiden dan wakilnya atau melihat penampilan mereka di televisi. Kegiatan mereka paling itu-itu saja. Kalau tak mengunjungi suatu tempat (lapangan, kampus, mal atau pasar), orasi obral janji, ya debat di televisi. Sedikit variasi ketika ada dua calon presiden yang menyanyi di panggung Grand Final Akademi Fantasi Indosiar. Selebihnya membosankan.

Di masa kampanye, asas fair play ditinggalkan. Tim para calon saling serang dengan cara yang tak sehat dan elegan. Ada masanya ketika mereka saling berbalas isu, melempar fitnah, demi mengurangi kredibilitas pesaingnya. Ada juga yang berperang fatwa, tapi malah bikin bingung umat.

Debat antarkandidat, seperti halnya pertandingan antara dua kesebelasan, juga biasa-biasa saja. Tak ada debat yang seru dan menegangkan. Katakanlah para calon adu argumentasi dengan alasan-alasan yang masuk akal. Yang terjadi sekarang ini, kalau ditanya oleh panelis atau penonton, jawaban mereka normatif. Tak jarang jauh panggang dari api. Semua berjanji, contohnya, membasmi korupsi, tapi tak ada penjelasan bagaimana melakukannya. Nyaris tak terdengar pemikiran kandidat yang inspiratif, sugestif, dan bisa mengajak orang merenung. Monotonlah pokoknya.

Jauh berbeda bila dibandingkan dengan pertandingan antara, ambil contoh, Ceko lawan Belanda dan berakhir dengan skor 3-2. Atau saat Portugal mengandaskan Spanyol dengan skor 1-0. Atau sewaktu Inggris menghempaskan Kroasia 4-2.

Lihat bagaimana anak-anak Ceko tanpa kenal menyerah dan putus asa menggedor pertahanan Belanda. Permainan berlangsung keras, tapi tidak kasar. Pemain kedua tim mempertontonkan gerakan-gerakan yang menawan.

Meski kalah, Raul Gonzales dkk juga bertarung seperti banteng terluka tombak matador. Fernando Tores pun masih sempat memperlihatkan aksi-aksi individual yang mencengangkan. Ia piawai menggoreng bola, mengumpan dengan tumit dan menembak laksana kanon memuntahkan peluru. Pendeknya, aksi-aksi para pemain itu mengasyikan dan enak ditonton. Aksi para calon presiden? Maaf, meminjam istilah anak sekarang, udah basi, tau!

Jangan lupa, menonton Euro di TV itu sangat menyegarkan. Lebih-lebih ketika mata mulai lelah dan ngantuk memelototi layar kaca pada dini hari. Juru kamera yang menayangkan pertandingan suka jahil. Sebagai selingan, sesekali mereka mengarahkan kamera ke arah penonton-penonton perempuan cantik berpakaian minim. Pemandangan ini jelas punya daya tarik tersendiri atau dalam istilah pelawak Asmuni, "Sueujuuuk!".

Bila dibandingkan, penampilan para kandidat presiden jelas kalah menarik. Memang ada yang berkumis, mengaku cantik, atau pandai menyanyi. Tapi saya tak tergoda. Kemampuan mereka mengelola pemerintahan jauh lebih penting.

Lebih dari semua itu, saya suka menonton Piala Eropa karena hanya pada waktu itulah saya bisa menguasai televisi - dalam arti yang sebenar-benarnya. Istri saya yang suka sinetron dan anak-anak yang senang film kartun -- dan di sore hari memonopoli remote control -- sudah tidur semua. Sekarang saya bebas berlama-lama di depan tv tanpa terusik. Nikmat betul hidup ini sejak ada Euro .... ***

Monday, June 21, 2004

Mengapa Bukan Mega

Oleh Wicaksono untuk Koran Tempo

Kawan saya yang suka usil itu datang lagi. Dari wajahnya yang cengengesan, saya tahu, dia pasti mau iseng lagi. Tebakan saya yang tak meleset. "Sudah nonton Euro, Bung?" Bisa enggak, sampeyan sejajarkan tim-tim itu dengan para kandidat presiden?" Kawan saya langsung memberondong dengan pertanyaan jahil. Setengah ogah-ogahan saya jawab sekenanya. "Ah, kecil itu....!"

Italia itu seperti Wiranto. Keduanya tercipta dari sebuah kompetisi yang ketat: Liga Italia Seri A dan konvensi Partai Golkar. Track record mereka pun cukup meyakinkan. Berdiri sejak 1898, Tim Azzuri adalah juara Piala Eropa 1968 dan kampiun Piala Dunia 1934, 1938, dan 1982.

Begitu pula dengan Wiranto. Pernah menjadi ajudan bekas orang nomor satu Indonesia Soeharto, karier Wiranto menanjak terus, dari Panglima Kodam Jaya, Panglima Komando Strategi Angkatan Darat, Kepala Staf Angkatan Darat, Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima TNI, dan terakhir menjadi Menteri Politik dan Keamanan.

Keduanya memiliki corak permainan yang mirip. Tradisi sepak bola Italia adalah bertahan, catennacio. Gaya ini mereka pertahankan selama bertahun-tahun, sampai kemudian pelatih tim nasional Italia Giovanni Trapattoni memberi sentuhan corak permainan baru.

Wiranto kini juga harus defensif menghadapi terpaan pelbagai isu, dari soal pelanggaran HAM di Timor Timur hingga soal Pam Swakarsa. Lawan-lawan politiknya nyaris tanpa henti menggoyang Wiranto, termasuk mengedarkan video yang isinya menjelek-jelekkan Wiranto.

Si kuda hitam Denmark lebih mirip Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY. Denmark baru menyodok ke jajaran tim elit dunia sekitar 1970-an. Padahal federasi sepak bolanya sudah berdiri sejak 1889. Revolusi sepak bola Denmark ditandai oleh kemunculan Allan Simonsen yang terpilih sebagai pemain terbaik Eropa pada 1977.

Sejak itu Denmark sering disebut-sebut sebagai tim dinamit yang siap memporak porandakan tim-tim tangguh, seperti yang pernah ditunjukkannya pada Piala Dunia 1986. Waktu itu di bawah asuhan pelatih Sepp Piontek, Denmark muncul sebagai kekuatan baru dengan pemain-pemain seperti Morten Olsen, Preben Elkjaer, dan Michael Laudrup yang ketika itu baru berusia 19 tahun.

SBY juga begitu. Pada mulanya SBY bukan siapa-siapa di ranah politik. Dia baru memperoleh perhatian dan simpati secara luas ketika teraniaya. Itu terbukti setelah Partai Demokrat yang mendukungnya mampu menyodok partai-partai politik lama dalam pemilu legislatif.

Namun, SBY belum benar-benar teruji sebagai pemimpin politik seperti halnya Denmark yang juga belum sekalipun menjuarai Piala Dunia. Meskipun demikian, bukan tak mungkin ia bisa menjadi kuda hitam yang perlu diwaspadai lawan-lawannya - persis seperti Denmark.

Pada pertemuan pertama di babak penyisihan Euro 2004, Italia dan Denmark bermain imbang 0-0. Akankah persaingan Wiranto-SBY di ajang pemilihan presiden berakhir dengan skor sama?

Kalau tim Bulgaria kurang lebih sama dengan Hamzah Haz. Peluangnya paling banter hanya sampai babak pertama. Fakta berbicara. Baru sekali main, anak-anak Bulgaria langsung dihajar Swedia 5-0.

Prancis mengingatkan saya pada Amien Rais. Tim juara bertahan ini makin hari makin matang saja permainannya - seperti Amien yang kian tenang penampilannya. Sayang, Dewi Fortuna kadang ogah menghampiri mereka.

"Kenapa Amien Rais, Bung? Mengapa bukan Megawati yang mirip Prancis? Bukankah Prancis dan Mega sama-sama juara bertahan? Sampeyan tim sukses Amien, ya?" tanya kawan saya curiga.

"Bukan begitu, Bung!" jawab saya. "Asal tahu saja, sepanjang sejarah Piala Eropa, belum pernah ada tuh, tim perempuan." Kawan saya melongo. ***

Tim Para Kandidat 2004

oleh Wicaksono untuk Koran Tempo

SEORANG kawan mengajukan pertanyaan menggoda. "Seandainya sampeyan manajer salah satu tim sepak bola dan mempunyai pemain yang terdiri dari para kandidat presiden dan wakil presiden Indonesia, bagaimana sampeyan akan menyusun tim?"

Sedetik saya terperangah. Saya tahu, ia pasti bercanda. Maklum, sekarang lagi lagi hangat-hangatnya kampanye para calon presiden dan wakilnya. Saat yang sama, di Portugal sana, ada kejuaraan yang membuat jutaan pasang mata memelototi televisi setiap hari: Piala Eropa 2004. Sudah jamak, orang biasanya suka mengkaitkan-kaitkan dua momen itu, meskipun ada kesan mengada-ada. Tapi bolehlah, buat iseng-iseng apa salahnya? Apalagi, kawan saya itu, terlihat penasaran begitu saya bilang, "Ah, gampang itu."

Pertama, Megawati Soekarnoputri akan jadi pilihan pertama saya di bawah mistar gawang. Mega saya pilih supaya tak perlu berlari ke sana kemari menggiring bola, mengirim umpan, menciptakan peluang, dan melesakkan bola ke gawang lawan. Cukup jaga gawang saja supaya tak kebobolan. Peran ini cocok seperti yang ditunjukkannya selama ini sebagai presiden. Diam dan pasif. Biarlah peran mengatur serangan, memutuskan tempo permainan, dan urusan mencetak gol dilakukan pemain lain.

Untuk pemain belakang, saya pilih Salahuddin Wahid, Wiranto, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Hasyim Muzadi. Sebagai eks tentara, jelas Wiranto dan SBY cakap mengamankan apa saja, termasuk gawangnya. Mereka pasti tak kenal kompromi.

Salahuddin dan Hasyim juga duet yang tak bisa dipandang enteng. Hasyim Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, organisasi massa besar dengan pengikut jutaan nahdliyin. Solahuddin juga orang NU, sekaligus eks anggota kelompok pecinta alam Wanadri. Apalagi dia adik Abdurrahman Wahid yang juga tokoh panutan NU. Kurang apa coba? Mereka pasti mampu menjinakkan serangan dari delapan penjuru angin, apa pun jenisnya, baik yang kasat mata maupun tidak. Tendangan geledek penyerang lawan pasti akan berhasil mereka redam dengan kesejukan.

Ada kurangnya memang. SBY dikenal sebagai orang yang peragu. Karena itu, ia perlu didampingi orang kuat, yang punya pengalaman memimpin pasukan seperti Wiranto yang mantan Panglima TNI. Tapi Wiranto punya banyak masalah, sehingga saya khawatir konsentrasi permainannya terganggu. Dia juga mesti didampingi orang yang dingin seperti SBY. Saya juga khawatir Salahuddin dan Hasyim kurang kompak menggalang pertahanan. Mereka bisa rebutan bola sendiri, seperti halnya mereka berebut suara para nahdliyin sekarang.

Agum Gumelar, Hamsyah Haz, Siswono Yudohusodo, dan Jusuf Kalla cukup jadi pemain tengah saja, sesuai yang mereka capai selama ini di pemerintahan. Mereka tak pernah jadi bintang, tapi tetap punya peranan, seperti kebanyakan para pemain tengah. Kalaupun mereka tak ada, roda pemerintahan toh tetap berjalan.

Nah, Amien Rais saya pasang sebagai striker. Sebagai politikus Amien terkenal pandai bermanuver. Ingat nggak sewaktu dia menggalang poros tengah untuk memuluskan jalan Abdurrahman Wahid ke Istana? Ia licin bagai belut kecebur oli. Tangkas berkelit dari sliding lawan. Kiper mana pun pasti terkecoh.

Memang ada kelemahannya. Sebagai orang yang dikenal bersih, Amien tentu kurang lihai melakukan diving untuk mengelabui wasit demi mendapatkan hadiah penalti. Tapi, siapa lagi kalau bukan dia yang cocok di depan?

"Oke, tapi satu lagi siapa? Pemain sepak bola kan harus sebelas, sementara sampeyan cuma punya 10?" kawan saya menyanggah.

"Ah, ini kan juga cuma seandainya ...." saya menjawab sambil berlalu. ***

Generasi yang Dimiskinkan

Merry Magdalena untuk Technomedia


“Apakah saya kalau sudah besar nanti bisa beli handphone seperti Mama?” Pertanyaan itu dilontarkan seorang anak perempuan delapan tahun bernama Libby. Sebuah pertanyaan simpel tapi cukup membuat saya berpikir panjang. Panjang sekali, sampai berhari-hari.

Waktu saya seusia Libby, saya tak pernah bertanya apakah kelak kalau sudah besar nanti sanggup membeli mobil atau rumah seperti bapak saya. Dulu saya pikir memiliki mobil dan rumah pribadi terjadi begitu saja pada setiap orang. Sama sekali tak pernah terlintas apakah kelak saya bisa mendapatkannya. Faktanya, sekarang saya sudah cukup dewasa, berpenghasilan tetap dan nyaris seusia bapak saya saat punya anak dulu. Apakah saya mampu membeli mobil atau rumah dengan jerih payah saya sendiri? Jawabnya cukup jelas di depan mata: TIDAK!

Dengan gaji saya saat ini, untuk menabung membeli mobil atau rumah di kawasan Jakarta adalah sangat tidak mungkin. Padahal saya bukan kaum duafa atau fakir miskin. Saya adalah kaum middle class. Berpenghasilan di atas UMR, memiliki handphone, bisa jajan ke Mc Donald, sesekali naik taxi, dan membeli pakaian bermerk luar. Pendidikan sarjana strata satu, bisa berbahasa Inggris, paham Internet dan komputer, menikmati film Hollywood di bioskop 21, membaca Harry Potter dan Lord Of The Ring. Singkatnya, sungguh sebuah kelas yang tak bisa dibilang miskin. Semua teman-teman seusia saya tak jauh beda kondisinya. Namun, kembali ke pertanyaan semua: Apakah kami sanggup membeli mobil dan rumah dengan uang kami sendiri?

Lalu saya mencoba beranalisa. Apa sebenarnya yang membuat kita yang berpenghasilan tetap lumayan ini begitu “miskin” sampai tak bisa membeli mobil dan rumah. Orangtua saya sampai sekarang tidak butuh handphone. Kalaupun bapak saya punya, itu karena dia mendapat hanphone bekas dari saya. Iuran pulsanya setiap bulan cukup disiplin, Rp.100.000 saja plus waktu tenggang tiga bulan. Bapak saya juga tidak perlu ke bioskop 21, membeli Harry Potter atau buku trend lainnya. Ia sama sekali tak tergoda untuk mampir ke Warnet untuk tahu apa itu email. Bapak saya juga tidak doyan Mc Donald, KFC, Pizza Hutt apalagi Komalas.

Kedua orang tua saya sama sekali tak ambil pusing kalau ada restoran waralaba luar yang baru buka. Semua kebiasaan ini sudah berjalan sejak mereka muda, jauh sebelum saya lahir. Tentu saja zaman itu belum ada Studio 21, Mc Donald, KFC, Chilli’s, Starbuck, dan sebagainya dan sebagainya. Belum diketemukan ponsel, laptop, DVD player, PDA, atau apapun itu.

Naik taxi pada era ibu saya dulu menjadi kemewahan tersendiri. Sangat bertentangan dengan gaya hidup saya sekarang dimana dengan mudah menyetop taxi hanya untuk sekadar ke mall atau janjian dengan teman. Zaman ibu saya muda dulu, sebelum mampu beli mobil, naik taxi hanya dilakukan dalam keadaan mendesak seperti ke rumah sakit atau terburu-buru karena ada sanak saudara meninggal.

Melihat fakta di atas maka jelaslah sudah kenapa orang tua saya mampu membeli mobil dan rumah sedangkan saya tidak. Mereka tak perlu mengeluarkan biaya ekstra untuk membeli ponsel, pulsa ponsel, akses Internet, noton bioskop 21, menyewa dan membeli DVD, naik taxi keseringan, mengunjungi aneka gerai restoran waralaba, membeli pakaian bermerk, dan semua kebiasaan konsumtif bedebah itu. Hiburan mereka dulu hanya sebatas nonton ke bioskop biasa yang tiketnya standar. Naik taxi sesekali saja.

Kencan paling mewah kalau tidak ke rumah makan padang ya restoran masakan Cina. Tentunya semua bernilai rupiah, sebab belum ada restoran lisensi asing di era itu. Tempat wisata pun yang ada Taman Impian Jaya Ancol, Kebun Binatang Ragunan atau Taman Mini. Belum ada mall-mall, plaza-plaza, town square yang sarat dengan aneka belanjaan harga ratusan sampai jutaaan rupiah. Belum bertongolan pula beragam kafe yang menjajakan secangkir kopi senilai Rp.30.000 plus plus. Ditambah lagiera itu rupiah masih sedemikian kuat sampai-sampai menurut Ayu Utami tukang becak mampu membeli jeans Levi’s orisinil!!!

Dengan harga jeans Levi’s yang terjangkau oleh abang becak, bisa dibayangkan berapa harga mobil dan rumah masa itu. Tentulah amat sangat murah bagi ukuran kantong kita sekarang. (Jeans Levi’s orisinil sekarang berkisar antara 200.000-700.000 rupiah, sama dengan sebulan gaji pembantu hingga SPG).

Menyimak fakta-fakta di atas kian jelas sudah jawaban yang kita butuhkan. Yeah, sudah bisa dapat bayangan mengapa orang tua kita dulu mampu membeli mobil dan rumah sementara kita tidak, padahal kami sama-sama masuk golongan middle class. Orang tua saya dulu mendapat peluang lebih banyak untuk menabung membeli mobil dan rumah yang kebetulan zaman itu harganya sungguh terjangkau. Saya, juga jutaan generasi saya, dari kalangan middle class, tidak akan mampu memiliki mobil dan rumah hasil jerih payah sendiri.

Untuk kedua kebutuhan tersebut setidaknya saya harus bekerja ekstra keras dan mengurangi banyak kenikmatan. Kalau bisa double job dan mengirit, mengurangi pola hidup konsumtif. Namun dengan risiko dikucilkan dari teman sepergaulan saat ini, tubuh lebih ringkih akibat keletihan dan sakit-sakitan. Jalan lain adalah mengikuti undian berhadian, kuis, atau pasang lotere dan taruhan. Siapa tahu menang? Tapi katanya ini haram. Menjadi perampok bank? Carder? Pemeras? Hus, ini lebih haram lagi.

Atau mengharap warisan orang tua? Kalau kita berasal dari high class, itu tak jadi masalah. Ingat, saya berasal dari middle class dimana warisan tak terlalu bisa diharap bisa menopang masa depan.
Ada lagi solusi lainnya kalau ingin punya rumah dan mobil, yakni menikah dengan orang kaya atau setidaknya anak orang kaya. Buat yang ini saya hanya bisa geleng-geleng kepala. Kalau sudah begini, saya akan pusing tujuh keliling ketika anak saya kelak bertanya, “Ma, kalau saya sudah besar nanti apakah saya bisa membeli mobil dan rumah sendiri?” Barangkali saya akan segera mengekploitasi bakat anak saya itu dan segera menempanya menjadi artis seperti Joshua, Tasya atau Sherina. Rasanya itu solusi yang tidak haram. Solusi bagi sebuah generasi yang dimiskinkan oleh zaman.

Medio 2004,Pusat Jakarta.






Di Balik Peningkatan Kapasitas Email Yahoo

Merry Magdalena untuk Sinar Harapan

Pemilik akun email Yahoo boleh bergembira dengan peningkatan kapasitas mailboxnya. Jangan salah, ada jebakan tersembunyi di balik iming-iming semua email “impor” tersebut.
Pekan silam, para pemiliki alamat email di Yahoo bersorai gembira. Pasalnya mereka tak perlu lagi sibuk menghapus pesan-pesan dalam inbox ketika sudah mendapat peringatan bahwa inbox mereka terancam over quota. Kini, pemilik email di Yahoo bisa sedikit bersantai sebab kapasitas Yahoo yang mulanya hanya 6 MegaByte (MB) sudah ditingkatkan menjadi 100MB. Tentu saja ini gratis, tanpa dipungut biaya sedikit sepeserpun. Biasanya kapasitan inbox tak terbatas atau yang berkapasitas besar hanya bisa didapat dari email berbayar.

Boros Bandwidth
Pendongkrakan kapasitas ini bukan dilakukan Yahoo semata, namun juga Google. Web yang lebih popular dengan search engine ini akan membuka layanan Google Groups gratis demi menandingi Yahoo. Bahkan mereka akan memebri layanan email cuma-cuma pula sebesar 1 GygaByte (GB). Nama layanan email itu adalah Gmail. Portal lain yang tak kalah heboh menawarkan layanan gratis adalah milik Microsoft, yakni MSN. Jejaring satu ini juga sudah menyediakan fasilitas lumayan beragam. Mereka punya webmail khusus, Hotmail yang penggunanya tak kalah banyak dengan Yahoo. MSN juga populer sebagai search engine serta mailing list. Bahkan berkat dominasi Microsoft, semua layanan MSN selalu ada berikut dengan browser Internet Explorer (IE).
Yahoo selama ini tercatat sebagai portal dengan pengguna tertinggi di dunia.
Pada April lalu tercatat 39,8 juta pengguna Yahoo, disusul Hotmail (milik Microsoft Inc) dengan 34,6 juta pengguna, demikian Nielsen Net/Ratings. Hotmail hanya menyediakan 2 megabytes penyimpanan gratis kepada pengguna.
Portal berbasis server Amerika Serikat (AS) memang kian berlomba menawarkan layanan gratis. Ada apa gerangan? Sejumlah praktisi teknologi informasi (TI) mencurigai peningkatan kapasitas gratis itu hanya sebagai kiat server luar untuk mendongkrak penggunaan bandwidth.
“Kalau misalnya semua orang berpindah ke alamat email Yahoo, maka alur email kita akan berkisar di server luar negeri. Pengguna mailing list atau milis pun mayoritas memakai Yahoogroups,” ujar Anthony Fajri, Administrator Domain Name System (DNS) Institut Teknologi Bandung (ITB) saat dihubungi SH, awal pekan ini. “Karena mayoritas orang menggunakan email dan groups luar negeri, maka trafik Internet kita akan ramai di server luar.”
Hal ini sama saja kita memberi pemasukan devisa bagi server luar tersebut, dalam hal ini notabene AS. Makin besar kapasitas gratis yang diberikan, makin tergoda orang untuk menggunakan alamat email itu. Akibatnya, pengeklik portal seperti Yahoo, Hotmail atau Gmail terus membengkak jumlahnya. Anthony berpendapat, saat kita membuka alamat email di Yahoo, sama saja dengan melakukan transaksi bandwidth dengan ukuran bervariasi. Itu pula yang terjadi saat kita memakai fasilitas milis seperti Yahoogroups maupun Google Groups.
Solusi untuk menghemat badnwidth sebenarnya adalah dengan memanfaatkan email dari server lokal. Sebagai perbandingan, Anthony memberi gambaran bahwa sekali klik email Yahoo bisa berarti pemakaian bandwidth sebesar 50 KiloByte(KB), sedangkan email lokal hanya 5KB. Ini sama saja artinya dengan melakukan transaksi bandwidth sebesar 5 KB yang jauh lebih murah dibanding bandwidth luar.
Tak bisa dibantah bahwa pengguna alamat email impor seperti Yahoo atau Hotmail jauh lebih besar dibanding email lokal. Sony Arianto Kurniawan, Database Administrator Ciputra Cyber Institute beropini,”Sampai saat ini pengguna email lokal sekitar 30 persen, sedangkan 70 persennya masih memakai email luar. Alasannya, provider lokal sangat sedikit dan kebanyakan kurang reliable.” Jelas saja orang Indonesia lebih suka memakai akun email luar karena selain bisa didapat gratis, layanannya cukup reliable. Reliable yang dimaksud Sony adalah maintenance serta pertanggungjawaban atas fasilitas dan fiturnya sangat bagus.
Peningkatan kapasitas gratis juga akan menguntungkan Yahoo dan Google di bidang iklan. Para pemasang iklan akan kian berminat pada keduanya begitu mereka tahu adanya peningkatan kapasitas itu.

Kurang Reliable
Selain email, fasilitas milis merupakan “incaran empuk” portal luar. Seperti kita tahu, mayoritas pemakai milis memanfaatkan Yahoogroups. Berdasarkan analisa Onno W.Purbo, praktisi IT kondang, tahun 2001 saja di Yahoogroups tercatat jumlah milis asal Indonesia ada sekitar 49.000. Angka itu kemungkinan membengkak dua kali lipat hari ini mengingat perkembangan Internet begitu pesat. Bisa dibayangkan berapa juta bahkan miliar transaksi bandwidth terjadi setiap kali semua anggota milis mengeklik Yahoogroups secara bersamaan. Untuk menyiasatinya, mau tak mau harus diciptakan fasilitas milis dalam negeri. Sebenarnya kita sudah punya provider penyedia milis lokal, yakni Groups.or.id. provider yang dibangun secara kerjasama ini melibatkan sejumlah perusahaan sebagai donatur. Pada halaman depan situsnya, Anda akan menemukan sejumlah penjelasan teknis mengenai cara-cara memanfaatkan layanan ini; mulai dari membuat milis, migrasi dari Yahoo! Groups, setting milis via email, dan sebagainya.

Dilihat dari content-nya, situs ini masih difokuskan bagi para netter yang ingin membuat milis bukan peserta milis. Jumlah milis yang tersedia pun masih sangat terbatas. Ini bisa dimaklumi, mengingat berdirinya situs ini pun masih tergolong baru. Karena itu, kekurangan di sana sini yang masih banyak ditemukan pun agaknya harus dimaklumi. Termasuk di antaranya adalah belum tersedianya manual dalam bahasa Indonesia.
Semangat para pembuat provider ini patut diacungi jempol, namun sayang layanan yang ditawarkan masih kurang memuaskan. Untuk bersaing dengan Yahoogroups misalnya, Groups.or.id masih jauh tertinggal. Provider ini belum memiliki kemampuan menghadirkan homepage khusus bagi suatu milis yang dilengkapi dengan fasilitas upload foto, file, database dan banyak lagi. Metode pengiriman postingan bagi peserta milis pun hanya terbatas pada kiriman ke email yang bersangkutan. “Itulah yang saya sebut sebagai kurang reliable. Servisnya setengah-setengah, sekadar program nasionalisme saja,” komentar Sony.(SH/merry magdalena)











Friday, June 18, 2004

Pemahaman IT?: Terlalu berharap banyak dari Capres dan Cawapres

oleh Budi Rahardjo aka Mr. GBT.

Dalam masa kampanya calon presiden dan calon wakil presiden, beberapa orang dari komunitas IT Indonesia mencoba menggali visi IT dari tim sukses capres/cawapres. Hasilnya ternyata mengecewakan. Tidak ada satupun yang tertarik. Rekan-rekan ini kemudian kecewa. Saya tidak!

Banyak orang yang beranggapan bahwa IT itu adalah Internet dan Internet adalah IT. Tentu saja ini tidak benar, meskipun konotasi bahwa IT itu sama dengan Internet memang kental sekali. Maklum, Internet merupakan salah satu indikator yang paling populer. Rekan-rekan IT ini kecewa bahwa para capres ini tidak tertarik kepada dunia IT. Jangan salah, situs web untuk para capres ini memang ada. Akan tetapi mereka tidak responsif jika dihubungi melalui email.

Sebetulnya apa yang diharapkan dari rekan-rekan IT? Apakah para capres, atau sedikitnya tim suksesnya?, bisa berkomunikasi melalui e-mail? Apakah harus demikian? Saya melihat bahwa rekan-rekan IT menganggap bahwa kalau seseorang tidak menggunakan email maka dia tidak ada (exist) di dunia IT. Saya kira ini harapa yang terlalu berlebihan. Setiap orang tentunya berhak memilih media komunikasi yang dia inginkan. Mungkin dia lebih suka menggunakan SMS, yang sebetulnya merupakan implementasi IT juga.

Kalau ini saya analogikan, mungkin sama dengan penilaian saya terhadap istilah "pakar IT". Dalam bayangan saya, yang namanya pakar IT tentu mahir menggunakan email, browsing Internet, dan punya homepage yang aktif. Yang terakhir ini mungkin harapan yang berlebihan dari saya, seperti harapan rekan-rekan bahwa capres dan timnya harus menggunakan email. Dalam bayangan saya, seseorang tidak dapat disebut pakar IT/Internet kalau tidak punya homepage yang aktif. Saat ini sepengetahuan saya "pakar IT" kebanyakan hanya menggunakan email saja. Kalau sekedar email, nenek-nenek juga bisa. Mereka tidak layak disebut "pakar".

Kalau anda tidak sepakat dengan opini saya ini, ya tentunya para capres dan timnya juga tidak perlu sepakat dengan tolok ukur anda. Dalam pemikiran mereka, mereka sudah IT-minded. Just not the Internet. So leave us (capres and team) alone, will you?

Saturday, June 12, 2004

'Pick and Drop' cara baru untuk bertukar informasi

oleh Budi Rahardjo aka Mr. GBT

Bagi kita yang sudah terbiasa menggunakan komputer yang berbasis grafis semestinya sudah terbiasa dengan menggunakan cara 'cut' dan 'paste'. Cara ini menggunakan metafora konvensional yang berbasiskan media kertas. Kita gunting dan tempel.

Saat ini ada penelitian baru dengan metafora baru, yaitu kita ambil (pick) dan letakkan (drop). Cara ini dapat dilakukan antar alat (devices). Misalnya, saya bisa mengambil (pick) sebuah berkas di PDA saya dengan menggunakan sebuah digital pen khusus kemudian saya letakkan (drop) di layar notebook anda. Maka berkas tersebut sudah ter-copy ke notebook anda. Intuitif bukan? Kalau dengan metoda lama, kita harus melakukan proses tersebut dari sebuah device. Misalnya, PDA saya harus disambungkan ke notebook anda, kemudian dijalankan file sharing (atau PDA saya kemudian muncul sebagai disk di notebook anda), baru kemudian berkas dari PDA saya bisa di-copy ke notebook anda. Ribet betul.

Cara baru ini menggunakan digital pen khusus yang dikenali oleh beberapa devices. Masih belum jelas mekanisme komunikasinya, apakah dengan menggunakan protokol wireless yang sudah ada (bluetooth, misalnya) atau protokol baru. Sony sebagai motor dari penelitian ini masih mengembangkan teknologi ini.

Cara baru, pick and drop, ini diperkirakan akan banyak digunakan di kemudian hari mengingat semakin banyak perangkat digital yang digunakan orang. Cara ini juga akan membuka aplikasi-aplikasi baru. Saya sudah terbayang, untuk mengambil sebuah berkas dari notebook anda tidak perlu lagi saya pasangkan USB flash disk saya ke port USB di notebook anda. Cukup saya pick berkas yang saya inginkan dengan flash disk saya (yang mungkin bentuknya seperti digital pen). Ruarrrr biasa ...

Nah, sekarang tinggal menunggu killer application dari cara baru ini.

Bacaan tentang pick and drop ini bisa dilihat di sini:

Thursday, June 10, 2004

Lokalisasi Windows XP, Proyek Sekedar Kosmetik ?

Dua tahun belakangan ini Microsoft gencar melokalisasikan peranti lunaknya--terutama sistem operasi--ke dalam berbagai bahasa. Khusus di Asia Tenggara, setelah Windows XP hadir dalam bahasa lokal Thailand dan Melayu di Malaysia, Microsoft segera merilis versi Bahasa Indonesia.

Pemanfaatan bahasa lokal memang menjanjikan kemudahan dalam mengoperasikan software. Namun lokalisasi bisa jadi menandakan perubahan strategi Microsoft yang selama ini berpegang teguh pada kebijakan harga tunggal.

Di beberapa negara yang termasuk dalam emerging market, kebijakan harga tunggal itu tampak menyulitkan Microsoft menembus pasar. Di Indonesia, Microsoft dihadapkan pada keterbatasan daya beli yang menyuburkan peranti lunak bajakan. Walaupun UU Hak Cipta diberlakukan sejak pertengahan tahun lalu, isu harga yang kelewat mahal masih menjadi beban di segmen komersial (perusahaan).

Belakangan ini, Microsoft juga mendapat saingan baru dari Linux dan peranti lunak open source. Popularitas Linux semakin tinggi terutama di segmen pendidikan. Walaupun analis berpendapat Windows masih akan mendominasi, setidaknya Linux akan mengurangi porsi Microsoft memperebutkan pasar baru yang diciptakan pergantian dari produk bajakan ke legal. Dalam beberapa hal, Linux juga mampu menjawab masalah keterbatasan daya beli.

Kondisi yang menyulitkan Microsoft itu juga membatasi daya penetrasi produsen PC yang menyediakan sistem operasi Windows dalam produknya melalui skema original equipment manufacturer (OEM). Padahal, potensi emerging market sangat menggiurkan sebab di Indonesia saja, penetrasi PC masih jauh di bawah 10%.

Microsoft bukannya tidak menyadari kendala itu. Mereka tengah merumuskan berbagai pendekatan baru untuk menggantikan skema harga tunggal terkait sulitnya menembus emerging market menggunakan strategi saat ini, seperti yang diungkapkan Martin Taylor, general manager of platform strategy Microsoft Corp. “Ini memang masalah yang sulit, dan kami hanya memiliki sedikit inisiatif berbeda yang sedang kami rumuskan,” katanya seperti dikutip CNet Asia awal Maret lalu.

Lokalisasi software

Mengubah kebijakan harga tunggal dan memberikan harga yang berbeda untuk setiap negara (atau pasar) bukan perkara gampang. Perbedaan harga akan menciptakan iklim yang tidak sehat karena pasar akan selalu mencari harga terendah, padahal produknya sama. Lokalisasi agaknya menjadi pilihan terbaik untuk membedakan dan membatasi peredaran software berdasarkan pasarnya. Artinya, Microsoft bisa memberikan harga yang berbeda untuk setiap pasar.

Microsoft membuktikan strategi harga itu pada program kepemilikan PC terjangkau di Thailand yang digelar Juni 2003. Dalam program itu, harga Windows XP versi lokal dipangkas dari US$199 menjadi US$40 sehingga harga PC bisa ditekan menjadi US$298. “Microsoft mengembangkan versi Windows XP khusus dan terbatas untuk pasar Thailand dalam program ini,” kata Andrew McBean, managing director Microsoft Thailand seperti dilaporkan Bangkok Post.

Langkah Microsoft itu berlanjut ke Malaysia melalui program PC Gemilang yang memasarkan PC dengan Windows XP berbahasa Melayu seharga US$302. Perusahaan itu tidak bersedia merinci harga satuan sistem operasi tersebut. “Kami bisa menurunkan harga sesuai pasar lokal karena software ini adalah versi lokal. Untuk versi internasional berbahasa Inggris harganya sama dan memang sulit menerapkan harga yang berbeda di satu negara,” tutur Butt Wai Choon, managing director Microsoft Malaysia kepada CNet Asia.

Setelah Thailand dan Malaysia, Microsoft dikabarkan berencana menerapkan strategi yang sama di Vietnam. Namun perusahaan itu belum bersedia memberikan informasi lebih lanjut. Selain itu, sebagai program yang baru bergulir, perlu waktu untuk mengukur efektifitas strategi lokalisasi produk Microsoft dalam membendung Linux dan open source.

Versi Indonesia

Microsoft mengembangkan Windows XP Home Edition versi Bahasa Indonesia sejak Agustus 2003 dan rencananya diluncurkan pekan ini. Namun lokalisasi ini belum seutuhnya karena hanya mengubah tampilan antar mukanya ke dalam Bahasa Indonesia. Menu-menu yang penting seperti User Assistance (Help Menu), Visual Basic Administrator (VBA), Windows Update dan Add-Ins masih menggunakan bahasa aslinya. Istilah Microsoft untuk tingkat lokalisasi paling dasar ini adalah Language Interface Pack (LIP).

Bekerja sama dengan Pusat Bahasa Depdiknas, lokalisasi Windows XP dalam bentuk LIP ini sekaligus mencanangkan pembakuan istilah-istilah teknologi ke dalam Bahasa Indonesia, seperti “tetikus” untuk mouse, “pos-el” untuk email, “wisaya” untuk wizard dan “luring” untuk offline.

Lokalisasi ini memang strategis untuk perkembangan Bahasa Indonesia di Tanah Air namun belum tentu menjawab masalah keterbatasan daya beli. Microsoft agaknya masih bersikap wait and see untuk memangkas harga Windows XP versi Bahasa Indonesia ini. “Harganya belum tentu lebih murah daripada versi internasional karena biaya pengembangan Windows XP kan pada dasarnya sama saja,” ujar Ari Kunwidodo, vice president director PT Microsoft Indonesia.

Memang saat ini belum ada alasan yang cukup kuat bagi Microsoft untuk menurunkan harga, seperti di Thailand dan Malaysia. Di kedua negara itu, tekanan Linux sangat terasa dalam program kepemilikan PC terjangkau yang digelar masing-masing pemerintah. Program di Thailand misalnya, pada awalnya hanya menyediakan PC berbasis Linux. Ternyata pesanan PC mencapai lebih dari 100.000 unit dalam beberapa pekan saja. Pilihan yang tidak bisa ditolak Microsoft, atau perusahaan itu terancam kehilangan pasar.

Sebaliknya di Indonesia, program PCRI yang rencananya menyediakan hingga 250.000 unit PC terjangkau ditunda hingga waktu yang tidak ditentukan. Awalnya Microsoft diketahui sebagai pemasok peranti lunak namun akhirnya dibatalkan sehingga PCRI hanya tersedia dengan sistem operasi Mandrake Linux.

Kegagalan PCRI ini sedikit mengurangi Linux dan open source sebagai kekuatan penawar Microsoft. Bulan ini, Pemerintah akan mendeklarasikan program Indonesia Goes Open Source (IGOS) yang menggalakkan penggunaan peranti lunak open source di seluruh instansi, menggantikan produk bajakan Potensinya sangat besar. Dari PC saja, segmen pemerintahan saat ini mengambil porsi sekitar 15% dari total penjualan di Indonesia.

Akhirnya akan sulit bagi Microsoft untuk mempertahankan kebijakan harga tunggal di Indonesia. Lokalisasi penuh Windows XP memang strategis memberikan jalan untuk itu agar siap menghadapi kompetisi harga (yang menjadi isu utama Linux). Namun lokalisasi sebatas LIP yang lebih bernilai kosmetik saja tidak cukup. Perlu diteruskan hingga utuh dan tentunya dilanjutkan dengan kampanye pemasaran.

Deriz S. Syarief untuk Bisnis Indonesia

Friday, June 04, 2004

Mengintip Bisnis Teknologi Informasi di Masa Depan

Deriz S. Syarief


Hampir 40 tahun lalu, Gordon Moore, direktur riset Fairchild Semiconductor mengamati bahwa setiap 18 bulan, kekuatan prosesor meningkat dua kali lipat Dalam satu tahun, jumlah transistor yang dapat dimampatkan dalam satu chip silicon secara ekonomis berlipat ganda.
Fenomena yang dikemukakan peraih gelar Ph.D di bidang Kimia dan Fisika dari California Institute of Technology itu dikenal sebagai, 'Moore's Law'. Gordon Moore kini menjabat sebagai Chairman Emeritus di perusahaan prosesor dunia Intel Corporation.
Berangkat dari hukum Moore itu, lembaga riset pasar Gartner memprediksikan tahun 2008 umum dijumpai di rumah-rumah PC desktop berkecepatan 40 GigaHertz dan memori (RAM) 12 Gigabytes. Media penyimpanannya mencapai 1,5 terabytes (1500 Gigabytes), sementara lalu lintas data pada local area network (LAN) mendekati 100Gigabit per detik.
Kecepatan prosesor terus meningkat hingga 150GHz pada 2011 dengan enam terabytes media storage. Belum lagi kemajuan teknologi fisika kuantum seperti transistor nanotubes dan spintronics yang diyakini melipatgandakan unjuk kerja komputer.
Kekuatan komputer yang sebesar itu sangat mungkin mengubah cara manusia menggunakannya. Menurut prediksi Gartner, pada 2008 sebagian besar manusia mengadaptasi remote computing.
Pada saat itu, PC kemungkinan hanya terdiri dari peranti output -monitor, printer- dan peranti input -keyboard, mouse saja. Semua proses dan penyimpanan data dilakukan oleh 'komputer bersama' nun jauh di sana.
Hasil proses dikirimkan melalui bandwidth kepada PC pengguna, layaknya listrik disalurkan ke rumah-rumah dari reaktor pembangkit melalui sejumlah gardu.
Komputasi jarak jauh itu dimungkinkan karena kapasitas bandwidth sudah sedemikian besarnya. Biaya remote computing akhirnya menjadi lebih murah ketimbang local computing. Proses komputasi pun menjadi sebuah layanan publik. Pengguna tinggal menyediakan monitor dan papan ketik, lalu mencolokannya ke jaringan. Tidak perlu upgrade atau mengganti hard disk jika sudah penuh, karena itu akan dilakukan oleh perusahaan penyedia layanan yang dikenal sebagai application service provider.
Berkonsolidasi
Analis Gartner Carl Claunch memprediksikan sedikitnya satu perusahaan teknologi informasi yang tergolong kelas kakap, menghilang mulai 2004. Entah akibat akuisisi, merger, kehilangan pasar atau teknologinya absolete. Perusahaan-perusahaan dot com pun berguguran dan ibarat kolam, ikan besar memangsa ikan kecil.
Sebelum akhir 2007, industri teknologi informasi memasuki masa oligopoli -segelintir vendor menguasai pasar. Setelah konsolidasi, industri ini akan kembali tumbuh dan menghasilkan inovasi baru.
Konsolidasi vendor besar itu berdampak pada model arsitektur sistem teknologi informasi pada perusahaan. Jumlah vendor yang tidak terlalu banyak membuat peranti lunak dan peranti keras lebih kompatibel antara satu dengan yang lainnya.
Aplikasi dan middleware di masa datang akan lebih mudah diatur dan dikonfigurasi ulang sehingga lebih adaptif terhadap perubahan bisnis. Aplikasi bisnis tidak saja menyatukan berbagai divisi internal, tetapi sudah menghubungkan perusahaan dan lembaga bisnis dalam satu ekosistem ekonomi. Claunch menyebut arsitektur aplikasi ini sebagai interenterprise system.
Konsep konektivitas ini merupakan evolusi dari enterprise resources planning (ERP), customer relationship management (CRM) dan supply chain management (SCM).
Saling keterkaitan antar unit bisnis inilah yang dijanjikan oleh Web Services dan standar industri extensible markup language (XML). Bila pasar menyambut keduanya dengan baik, aplikasi akan memiliki kemampuan plug-and-play sesuai kebutuhan bisnis.
Hasil akhirnya, produktivitas dan efisiensi perusahaan melonjak drastis dan ujung-ujungnya akan mendongkrak ekonomi secara makro. Perusahaan mengoptimalkan Internet dan Intranet untuk menjalankan bisnisnya kapan saja, dimana saja dengan biaya serendah mungkin.
Namun, meningkatnya produktivitas diramalkan membuat banyak orang kehilangan pekerjaan. Sistem otomatisasi akan memangkas kebutuhan tenaga kerja manusia.
Pada 2005, diperkirakan 70% perusahaan yang bergerak lewat Internet jumlah karyawannya berkurang 10% dan pada 2010, sebanyak 60% perusahaan mengurangi 30% karyawannya.
Analis Gartner mengingatkan pengurangan ini baru terjadi pada saat tingkat utilisasi sistem otomatisasi mencapai 100%. Di tahun sebelumnya, kebutuhan tenaga kerja teknologi informasi akan melonjak terlebih dahulu guna menyiapkan peranti keras dan lunak untuk otomatisasi itu.
Peranan bank
Presence service bisa diartikan sebagai segala macam layanan yang mendukung keberadaan individu. KTP, SIM, Kartu ATM, Kartu Kredit, Smart Card, alamat email, dan user ID adalah beberapa diantara jenis layanan itu. Tanpanya manusia modern tidak bisa berbuat apa-apa, tidak diakui keberadaannya.
Kehadiran presence service ini berawal dari konsep 'one-click Internet' yang menawarkan pengaturan preferensi dan informasi sesuai kebutuhan pengguna ketika berselancar di Internet.
Ke depan, bank akan lebih banyak berperan sebagai presence service provider karena sektor ini sarat dengan teknologi informasi dalam menjalankan bisnisnya. Disamping itu, bank sudah biasa berurusan dengan security dan privacy nasabahnya. Gartner memprediksikan 70% bank sukses mengelola layanan ini sebelum 2007.
Dari potret masa depan itu, terlihat peranan teknologi informasi dalam dunia bisnis semakin besar. Teknologi informasi tidak lagi dipandang sebagai cost center, bukan juga hanya sebagai profit center tetapi sudah menjadi enabling factor -faktor penyedia yang memungkinkan bisnis berjalan. Dalam setiap keputusan bisnis terkandung muatan teknologi informasi yang semakin kental, begitu juga sebaliknya.

Thursday, June 03, 2004

Media baru membunuh media konvensional?

Banyak orang yang mengatakan bahwa Internet dapat membuat tutupnya media publikasi konvensional yang hanya mengandalkan media cetak. Hype ini belum terbukti. Hal ini disebabkan karena dahulu untuk menayangkan (publish) sebuah tulisan di Internet dibutuhkan kemampuan coding HTML. Kemudian muncul alat bantu yang mempermudah penulisan HTML. Namun ini masih kurang. Hasil tampilan masih pas-pasan saja.

Muncullah blogger dengan alat bantu penulisan dan cara penyajian yang menarik. Ada mekanisme untuk mengubah tema (theme, style) dari tampilan dengan hanya menekan beberapa tombol saja. Hasilnya adalah tampilan yang sebanding dengan tampilan dari media cetak.

Hanya, masalah konvensional masih belum dipecahkan, yaitu mencari sumber tulisan yang bagus. Yang ini ternyata masih belum bisa diotomatiskan. Masih harus dilakukan oleh orang. Mungkin suatu saat ini bisa diotomatiskan dengan menggunakan program intelegensia buatan yang dijalankan oleh komputer? Kita tinggal menuliskan plotnya, memilih temanya (serius, komedi), dan kemudian sang komputer menuliskan detailnya.

Nah, kalau sudah begitu maka media baru ini baru bisa mulai dikatakan membunuh media konvensional. Tapi mungkin ini masih belum cukup. Saya masih ingat lagu "video kills radio star". Ternyata video tidak membunuh bintang radio, bahkan membantu penjualan album bintang radio tersebut. Nampaknya media baru ini tidak membunuh media konvensional, malah meningkatkan penjualannya. Siapa yang mau eksperimen?

-- br