Monday, June 21, 2004

Generasi yang Dimiskinkan

Merry Magdalena untuk Technomedia


“Apakah saya kalau sudah besar nanti bisa beli handphone seperti Mama?” Pertanyaan itu dilontarkan seorang anak perempuan delapan tahun bernama Libby. Sebuah pertanyaan simpel tapi cukup membuat saya berpikir panjang. Panjang sekali, sampai berhari-hari.

Waktu saya seusia Libby, saya tak pernah bertanya apakah kelak kalau sudah besar nanti sanggup membeli mobil atau rumah seperti bapak saya. Dulu saya pikir memiliki mobil dan rumah pribadi terjadi begitu saja pada setiap orang. Sama sekali tak pernah terlintas apakah kelak saya bisa mendapatkannya. Faktanya, sekarang saya sudah cukup dewasa, berpenghasilan tetap dan nyaris seusia bapak saya saat punya anak dulu. Apakah saya mampu membeli mobil atau rumah dengan jerih payah saya sendiri? Jawabnya cukup jelas di depan mata: TIDAK!

Dengan gaji saya saat ini, untuk menabung membeli mobil atau rumah di kawasan Jakarta adalah sangat tidak mungkin. Padahal saya bukan kaum duafa atau fakir miskin. Saya adalah kaum middle class. Berpenghasilan di atas UMR, memiliki handphone, bisa jajan ke Mc Donald, sesekali naik taxi, dan membeli pakaian bermerk luar. Pendidikan sarjana strata satu, bisa berbahasa Inggris, paham Internet dan komputer, menikmati film Hollywood di bioskop 21, membaca Harry Potter dan Lord Of The Ring. Singkatnya, sungguh sebuah kelas yang tak bisa dibilang miskin. Semua teman-teman seusia saya tak jauh beda kondisinya. Namun, kembali ke pertanyaan semua: Apakah kami sanggup membeli mobil dan rumah dengan uang kami sendiri?

Lalu saya mencoba beranalisa. Apa sebenarnya yang membuat kita yang berpenghasilan tetap lumayan ini begitu “miskin” sampai tak bisa membeli mobil dan rumah. Orangtua saya sampai sekarang tidak butuh handphone. Kalaupun bapak saya punya, itu karena dia mendapat hanphone bekas dari saya. Iuran pulsanya setiap bulan cukup disiplin, Rp.100.000 saja plus waktu tenggang tiga bulan. Bapak saya juga tidak perlu ke bioskop 21, membeli Harry Potter atau buku trend lainnya. Ia sama sekali tak tergoda untuk mampir ke Warnet untuk tahu apa itu email. Bapak saya juga tidak doyan Mc Donald, KFC, Pizza Hutt apalagi Komalas.

Kedua orang tua saya sama sekali tak ambil pusing kalau ada restoran waralaba luar yang baru buka. Semua kebiasaan ini sudah berjalan sejak mereka muda, jauh sebelum saya lahir. Tentu saja zaman itu belum ada Studio 21, Mc Donald, KFC, Chilli’s, Starbuck, dan sebagainya dan sebagainya. Belum diketemukan ponsel, laptop, DVD player, PDA, atau apapun itu.

Naik taxi pada era ibu saya dulu menjadi kemewahan tersendiri. Sangat bertentangan dengan gaya hidup saya sekarang dimana dengan mudah menyetop taxi hanya untuk sekadar ke mall atau janjian dengan teman. Zaman ibu saya muda dulu, sebelum mampu beli mobil, naik taxi hanya dilakukan dalam keadaan mendesak seperti ke rumah sakit atau terburu-buru karena ada sanak saudara meninggal.

Melihat fakta di atas maka jelaslah sudah kenapa orang tua saya mampu membeli mobil dan rumah sedangkan saya tidak. Mereka tak perlu mengeluarkan biaya ekstra untuk membeli ponsel, pulsa ponsel, akses Internet, noton bioskop 21, menyewa dan membeli DVD, naik taxi keseringan, mengunjungi aneka gerai restoran waralaba, membeli pakaian bermerk, dan semua kebiasaan konsumtif bedebah itu. Hiburan mereka dulu hanya sebatas nonton ke bioskop biasa yang tiketnya standar. Naik taxi sesekali saja.

Kencan paling mewah kalau tidak ke rumah makan padang ya restoran masakan Cina. Tentunya semua bernilai rupiah, sebab belum ada restoran lisensi asing di era itu. Tempat wisata pun yang ada Taman Impian Jaya Ancol, Kebun Binatang Ragunan atau Taman Mini. Belum ada mall-mall, plaza-plaza, town square yang sarat dengan aneka belanjaan harga ratusan sampai jutaaan rupiah. Belum bertongolan pula beragam kafe yang menjajakan secangkir kopi senilai Rp.30.000 plus plus. Ditambah lagiera itu rupiah masih sedemikian kuat sampai-sampai menurut Ayu Utami tukang becak mampu membeli jeans Levi’s orisinil!!!

Dengan harga jeans Levi’s yang terjangkau oleh abang becak, bisa dibayangkan berapa harga mobil dan rumah masa itu. Tentulah amat sangat murah bagi ukuran kantong kita sekarang. (Jeans Levi’s orisinil sekarang berkisar antara 200.000-700.000 rupiah, sama dengan sebulan gaji pembantu hingga SPG).

Menyimak fakta-fakta di atas kian jelas sudah jawaban yang kita butuhkan. Yeah, sudah bisa dapat bayangan mengapa orang tua kita dulu mampu membeli mobil dan rumah sementara kita tidak, padahal kami sama-sama masuk golongan middle class. Orang tua saya dulu mendapat peluang lebih banyak untuk menabung membeli mobil dan rumah yang kebetulan zaman itu harganya sungguh terjangkau. Saya, juga jutaan generasi saya, dari kalangan middle class, tidak akan mampu memiliki mobil dan rumah hasil jerih payah sendiri.

Untuk kedua kebutuhan tersebut setidaknya saya harus bekerja ekstra keras dan mengurangi banyak kenikmatan. Kalau bisa double job dan mengirit, mengurangi pola hidup konsumtif. Namun dengan risiko dikucilkan dari teman sepergaulan saat ini, tubuh lebih ringkih akibat keletihan dan sakit-sakitan. Jalan lain adalah mengikuti undian berhadian, kuis, atau pasang lotere dan taruhan. Siapa tahu menang? Tapi katanya ini haram. Menjadi perampok bank? Carder? Pemeras? Hus, ini lebih haram lagi.

Atau mengharap warisan orang tua? Kalau kita berasal dari high class, itu tak jadi masalah. Ingat, saya berasal dari middle class dimana warisan tak terlalu bisa diharap bisa menopang masa depan.
Ada lagi solusi lainnya kalau ingin punya rumah dan mobil, yakni menikah dengan orang kaya atau setidaknya anak orang kaya. Buat yang ini saya hanya bisa geleng-geleng kepala. Kalau sudah begini, saya akan pusing tujuh keliling ketika anak saya kelak bertanya, “Ma, kalau saya sudah besar nanti apakah saya bisa membeli mobil dan rumah sendiri?” Barangkali saya akan segera mengekploitasi bakat anak saya itu dan segera menempanya menjadi artis seperti Joshua, Tasya atau Sherina. Rasanya itu solusi yang tidak haram. Solusi bagi sebuah generasi yang dimiskinkan oleh zaman.

Medio 2004,Pusat Jakarta.






3 comments:

Merry Magdalena said...

Mer, gua seneng baca tulisan lu. And setuju. Tapi, kalo bole menambahkan, jaman bokap nyokap kita dulu kayaknya jadi sarjana S1 udah gampang dapat kerja, ditambah fasilitas rumah dinas + mobil + pengobatan gratis. (Selain belum banyak godaan shg bisa nabung) Kalo sekarang...huhu....

Bokapnya Rebecca Bloomwood (tokoh di novel Confessions of shopaholic) berkata : kalau tidak mengencangkan ikat pinggang, ya cari pendapatan tambahan. Berhubung gua belum tau alternatif pendapatan....Ya, udah, mari kencangkan ikat pinggang (sekalian buang lemak)...satu, dua, tiga, hgh...!!

Anonymous said...

Dear Mer,
Saya mendapati cara pandang manusia atau tolak ukur manusia merupakan salah satu alat yg paling tidak reliable yg pernah ada. Satu situasi akan mendapat penilaian yg berbeda dari orang yg berbeda. Bahkan satu orang yg sama akan memberi penilaian yg berbeda pada situasi itu dalam waktu yg berbeda.

Sebenarnya tulisan di atas sangat mengusik satu pemikiran yg cukup lama saya renungkan. Dan kebetulan sekali tentang materi yg sama yaitu mobil. Saya berasal dari keluarga yg sederhana walau semua yg saya perlu tercukupi (e.g. makan dan sekolah). Buat saya membeli mobil itu sesuatu yg di lakukan oleh orang lain yg punya banyak uang, tapi bukan saya karena mobil itu mahal. Orang tua saya bilang mobil itu mahal. Mobil itu bukan buat kita. Tetangga saya juga berkata yg sama, walau tidak secara explisit. "Jangan mimpi beli mobil deh" atau "jangan tanya berapa harga mobil, terlalu mahal" menjadi kesan yg membentuk pola pikir. Kesimpulan, mobil mahal dan tidak terbeli.

Tapi kemudian, perlahan tapi pasti, keadaan atau mungkin penilaian terhadap keadaan bergeser. pengetahuan, informasi, penemuan fakta baru, atau sebuah pencerahan pemikiran memaksa pikiran berevolusi. Fakta menunjukkan banyak sekali mobil di jalanan. Kalo mobil itu mahal dan sulit di beli, kenapa banyak mobil di jalanan. Bahkan jalanan tidak muat alias macet karena terlalu banyaknya mobil. Fakta baru ini kontradiksi terhadap fakta sebelumnya bahwa mobil itu mahal dan susah sekali utk dibeli. Seharusnya kalo mahal dan susah di beli, jumlahnya harus sedikit (kembali dalam hal ini banyak dan sedikit itu subjective, But the bottom line is: mobil lebih banyak dari jalanan). Harus ada resolusi. Truth is absolute. Hanya ada satu yg bener. Kalo mobil begitu banyaknya, sampe2 jalanan nggak muat, artinya beli mobil itu nggak begitu susah, buktinya banyak yang bisa melakukannya. Kalo semua orang itu bisa beli mobil, kenapa saya tidak bisa. Apa yg dimiliki oleh orang yg banyak itu yg tidak saya miliki. Apakah saya tidak mampu beli mobil, atau saya tidak mau utk mampu beli mobil?

Dan kalo pemikiran ini saya teruskan, saya akan di perhadapkan dengan satu renungan lain yg lebih besar yg juga kuat berputar dalam otak saya. Kenapa orang Indonesia secara general kalah dalam achievement dengan orang dari eropa atau amerika contohnya? Kenapa orang asia secara general kalah makmur dengan orang Caucasian? (maaf ini pendapat pribadi ^_^). Dan seringkali pemikiran-pemikiran itu harus berhenti utk sementara dengan pertanyaan ttg mobil yang tadi. Apa yg orang Caucasion miliki yang orang Asia nggak miliki? Apakah orang indonesia tidak mampu menjadi makmur, ataukah orang indonesia tidak mau menjadi makmur? Apakah orang indonesia mau melihat dirinya tidak kurang/kalah dengan rumpun bangsa lain, atau orang indonesia sudah menerima dan "patuh" bahwa bangsa-bangsa lain boleh berhasil tapi bukan bangsa kita?

mengingat semua ini setiap ada hal yg besar saya selalu coba untuk menasehati diri saya utk bertindak adil kepada diri saya. kalo orang lain bisa kenapa saya tidak? apalagi kalo orang yg bisa banyak, hampir selalu, saya pasti bisa.

Semoga tidak ditafsirkan ke arah yg tidak enak, tapi boleh menjadi bahan yg membangkitkan semangat. ^_^ nb: saat ini saya belum punya mobil ^_^, tp saya tidak melihat hal memiliki mobil sebagai sesuatu yg sukar. kalau orang lain bisa kenapa saya tidak ^_^.

BAS for Indonesia's future great generation.

faramina said...

hmmmm

gw baru mau lulus sarjana, itu juga udah 5 taon gw kuliah... sekarang gw jadi penyiar di radio... gajinya dikit... senior gw yang paling tinggi (uda dua taun gawe) 15000 se jam (seminggu kebagian 28 jam)... gw baru selesai training... ada 5 jenjang di radio gw...
kira2 g mau jadi apa ya ntar?.
baca tulisan loe?.... gw cuma bisa bilang... sadis... pembunuhan karakter buat gw... huehehe... mati gw malem ini mikirin tulisan lue...

bikin yang lebih dari ini ya. gw tunggu.