Thursday, June 24, 2004

Survei dan Statistik

Oleh Wicaksono untuk Koran Tempo

Seperti halnya tim-tim peserta Piala Eropa, para kandidat presiden juga bisa dilihat berdasarkan hasil survei dan statistik. Survei dan statistik mencerminkan penampilan selama pertandingan dan dapat dipakai untuk meramalkan hasil akhir, meski tidak selalu tepat.

Hasil survei yang dilakukan International Foundation for Election System (IFES) pada 4-7 Juni 2004 menunjukkan, popularitas Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) masih tetap yang tertinggi. SBY mirip Prancis. Sebagai juara bertahan, Zidane dkk cukup konsisten. Setelah menggulung Inggris 2-1, dan ditahan 2-2 oleh Kroasia, Prancis mendepak Swiss 3-1. Penampilan Les Blues yang nyaris tanpa cacat, seperti SBY, membuat mereka diunggulkan lagi jadi juara. Mungkin hanya Dewi Fortuna yang mampu membuyarkan impian mereka.

Dari survei yang sama, terungkap bahwa Amien Rais memperoleh peningkatan popularitas paling pesat dibandingkan kandidat lainnya. Dibandingkan survei sebelumnya pada 20 April-8 Mei, dukungan untuk Amien meningkat 5 persen menjadi 9,8 persen. Hasil survei Lembaga Kajian Demokrasi (LkaDe) menunjukkan hasil yang kurang lebih sama. Selama periode akhir Mei hingga pertengahan Juni, popularitas pasangan calon presiden Amien-Siswono meningkat 4,4 persen menjadi 21,1 persen.

Amien mengingatkan saya pada Portugal. Setelah kalah 2-1 dari Yunani pada partai pertama, grafik permainan Portugal naik terus. Mereka menggilas Rusia 2-0 dan memukul Spanyol 1-0. Kemarin pagi, Figo dkk bahkan menundukkan tim kuat Inggris lewat adu penalti. Ada kemungkinan Portugal bertemu Prancis di partai final sebagaimana halnya SBY bisa jadi bertemu Amien di putaran kedua pemilihan presiden September nanti.

Popularitas Wiranto, menurut IFES, meski di atas Amien, cenderung stagnan. Wiranto kurang populer, menurut LkaDe, karena responden memiliki sentimen antimiliter. Wiranto juga dinilai terkait kasus pelanggaran HAM. Seperti Belanda yang punya nama besar, tapi permainannya kurang meyakinkan - menahan Jerman 1-1, kalah 2-3 dari Ceko, dan baru menang 3-0 dari tim lemah Latvia - peluang Wiranto pun masih meragukan, meski kemungkinan terjadi kejutan.

Sementara itu, berdasarkan survei IFES, popularitas Megawati Soekarnoputi berada di urutan ketiga, setelah SBY dan Wiranto. Jajak pendapat LkaDe menyebutkan, dari para responden yang tidak memilih Megawati, 38,55 persen di antaranya mengaku kecewa dengan kinerja pemerintah saat ini. Megawati juga dianggap gagal memperbaiki kondisi ekonomi.

Banyak pecandu bola yang juga kecewa melihat penampilan Jerman. Punya tradisi bagus di tingkat dunia, Jerman tiga kali juara dunia, bintangnya meredup kali ini. Mereka hanya mampu menahan imbang Belanda 1-1 dan tim "kemarin sore" Latvia tanpa gol. Tim asuhan Rudi Voeller ini bahkan takluk 1-2 oleh Ceko dan terpaksa angkat kaki pagi-pagi. Jerman gagal memperbaiki penampilan mereka.

Berdasarkan data Panitia Pengawas Pemilu, Megawati yang menggandeng Hasyim Muzadi tercatat sebagai pasangan yang paling banyak dilaporkan telah melanggar aturan. Dalam soal pelanggaran, pasangan ini menyamai Swiss yang paling banyak mendapat kartu merah, yakni dua buah. Langkah Swiss terhenti di babak pertama setelah kalah dua kali dan sekali seri.

Bagaimana dengan Hamzah Haz? Dukungan untuk Hamzah cenderung tetap sejak survei pertama IFES, yaitu sekitar 2 persen pada posisi terendah dan tertinggi 6 persen. Kini, calon dari Partai Persatuan Pembangunan ini cuma memperoleh dukungan dua persen. Dia mengingatkan saya pada Bulgaria yang tak pernah menang melawan tim mana pun.

Hasil survei dan statistik di atas akan terbukti nanti setelah 5 Juli 2004, setelah babak final Euro selesai, sesudah kotak-kotak suara dibuka dan dihitung. ***

Mengapa Saya Pilih Euro

Oleh Wicaksono untuk Koran Tempo

Saya suka menonton Piala Eropa 2004 karena beberapa perihal. Yang pertama, lantaran tim-tim yang bertanding umumnya mematuhi asas fair play. Begitu juga dengan para pemainnya. Ada memang satu dua pemain yang bermain keras, mengganjal lawan. Tapi lihat sesudah itu, mereka pasti saling bersalaman, berangkulan, dan berebut bola lagi, seolah tak terjadi apa pun sebelumnya. Tiada ada dendam. Tak ada gontok-gontokan.

Sebaliknya, saya malas mengikuti berita-berita seputar kampanye para kandidat presiden dan wakilnya atau melihat penampilan mereka di televisi. Kegiatan mereka paling itu-itu saja. Kalau tak mengunjungi suatu tempat (lapangan, kampus, mal atau pasar), orasi obral janji, ya debat di televisi. Sedikit variasi ketika ada dua calon presiden yang menyanyi di panggung Grand Final Akademi Fantasi Indosiar. Selebihnya membosankan.

Di masa kampanye, asas fair play ditinggalkan. Tim para calon saling serang dengan cara yang tak sehat dan elegan. Ada masanya ketika mereka saling berbalas isu, melempar fitnah, demi mengurangi kredibilitas pesaingnya. Ada juga yang berperang fatwa, tapi malah bikin bingung umat.

Debat antarkandidat, seperti halnya pertandingan antara dua kesebelasan, juga biasa-biasa saja. Tak ada debat yang seru dan menegangkan. Katakanlah para calon adu argumentasi dengan alasan-alasan yang masuk akal. Yang terjadi sekarang ini, kalau ditanya oleh panelis atau penonton, jawaban mereka normatif. Tak jarang jauh panggang dari api. Semua berjanji, contohnya, membasmi korupsi, tapi tak ada penjelasan bagaimana melakukannya. Nyaris tak terdengar pemikiran kandidat yang inspiratif, sugestif, dan bisa mengajak orang merenung. Monotonlah pokoknya.

Jauh berbeda bila dibandingkan dengan pertandingan antara, ambil contoh, Ceko lawan Belanda dan berakhir dengan skor 3-2. Atau saat Portugal mengandaskan Spanyol dengan skor 1-0. Atau sewaktu Inggris menghempaskan Kroasia 4-2.

Lihat bagaimana anak-anak Ceko tanpa kenal menyerah dan putus asa menggedor pertahanan Belanda. Permainan berlangsung keras, tapi tidak kasar. Pemain kedua tim mempertontonkan gerakan-gerakan yang menawan.

Meski kalah, Raul Gonzales dkk juga bertarung seperti banteng terluka tombak matador. Fernando Tores pun masih sempat memperlihatkan aksi-aksi individual yang mencengangkan. Ia piawai menggoreng bola, mengumpan dengan tumit dan menembak laksana kanon memuntahkan peluru. Pendeknya, aksi-aksi para pemain itu mengasyikan dan enak ditonton. Aksi para calon presiden? Maaf, meminjam istilah anak sekarang, udah basi, tau!

Jangan lupa, menonton Euro di TV itu sangat menyegarkan. Lebih-lebih ketika mata mulai lelah dan ngantuk memelototi layar kaca pada dini hari. Juru kamera yang menayangkan pertandingan suka jahil. Sebagai selingan, sesekali mereka mengarahkan kamera ke arah penonton-penonton perempuan cantik berpakaian minim. Pemandangan ini jelas punya daya tarik tersendiri atau dalam istilah pelawak Asmuni, "Sueujuuuk!".

Bila dibandingkan, penampilan para kandidat presiden jelas kalah menarik. Memang ada yang berkumis, mengaku cantik, atau pandai menyanyi. Tapi saya tak tergoda. Kemampuan mereka mengelola pemerintahan jauh lebih penting.

Lebih dari semua itu, saya suka menonton Piala Eropa karena hanya pada waktu itulah saya bisa menguasai televisi - dalam arti yang sebenar-benarnya. Istri saya yang suka sinetron dan anak-anak yang senang film kartun -- dan di sore hari memonopoli remote control -- sudah tidur semua. Sekarang saya bebas berlama-lama di depan tv tanpa terusik. Nikmat betul hidup ini sejak ada Euro .... ***