Thursday, June 24, 2004

Mengapa Saya Pilih Euro

Oleh Wicaksono untuk Koran Tempo

Saya suka menonton Piala Eropa 2004 karena beberapa perihal. Yang pertama, lantaran tim-tim yang bertanding umumnya mematuhi asas fair play. Begitu juga dengan para pemainnya. Ada memang satu dua pemain yang bermain keras, mengganjal lawan. Tapi lihat sesudah itu, mereka pasti saling bersalaman, berangkulan, dan berebut bola lagi, seolah tak terjadi apa pun sebelumnya. Tiada ada dendam. Tak ada gontok-gontokan.

Sebaliknya, saya malas mengikuti berita-berita seputar kampanye para kandidat presiden dan wakilnya atau melihat penampilan mereka di televisi. Kegiatan mereka paling itu-itu saja. Kalau tak mengunjungi suatu tempat (lapangan, kampus, mal atau pasar), orasi obral janji, ya debat di televisi. Sedikit variasi ketika ada dua calon presiden yang menyanyi di panggung Grand Final Akademi Fantasi Indosiar. Selebihnya membosankan.

Di masa kampanye, asas fair play ditinggalkan. Tim para calon saling serang dengan cara yang tak sehat dan elegan. Ada masanya ketika mereka saling berbalas isu, melempar fitnah, demi mengurangi kredibilitas pesaingnya. Ada juga yang berperang fatwa, tapi malah bikin bingung umat.

Debat antarkandidat, seperti halnya pertandingan antara dua kesebelasan, juga biasa-biasa saja. Tak ada debat yang seru dan menegangkan. Katakanlah para calon adu argumentasi dengan alasan-alasan yang masuk akal. Yang terjadi sekarang ini, kalau ditanya oleh panelis atau penonton, jawaban mereka normatif. Tak jarang jauh panggang dari api. Semua berjanji, contohnya, membasmi korupsi, tapi tak ada penjelasan bagaimana melakukannya. Nyaris tak terdengar pemikiran kandidat yang inspiratif, sugestif, dan bisa mengajak orang merenung. Monotonlah pokoknya.

Jauh berbeda bila dibandingkan dengan pertandingan antara, ambil contoh, Ceko lawan Belanda dan berakhir dengan skor 3-2. Atau saat Portugal mengandaskan Spanyol dengan skor 1-0. Atau sewaktu Inggris menghempaskan Kroasia 4-2.

Lihat bagaimana anak-anak Ceko tanpa kenal menyerah dan putus asa menggedor pertahanan Belanda. Permainan berlangsung keras, tapi tidak kasar. Pemain kedua tim mempertontonkan gerakan-gerakan yang menawan.

Meski kalah, Raul Gonzales dkk juga bertarung seperti banteng terluka tombak matador. Fernando Tores pun masih sempat memperlihatkan aksi-aksi individual yang mencengangkan. Ia piawai menggoreng bola, mengumpan dengan tumit dan menembak laksana kanon memuntahkan peluru. Pendeknya, aksi-aksi para pemain itu mengasyikan dan enak ditonton. Aksi para calon presiden? Maaf, meminjam istilah anak sekarang, udah basi, tau!

Jangan lupa, menonton Euro di TV itu sangat menyegarkan. Lebih-lebih ketika mata mulai lelah dan ngantuk memelototi layar kaca pada dini hari. Juru kamera yang menayangkan pertandingan suka jahil. Sebagai selingan, sesekali mereka mengarahkan kamera ke arah penonton-penonton perempuan cantik berpakaian minim. Pemandangan ini jelas punya daya tarik tersendiri atau dalam istilah pelawak Asmuni, "Sueujuuuk!".

Bila dibandingkan, penampilan para kandidat presiden jelas kalah menarik. Memang ada yang berkumis, mengaku cantik, atau pandai menyanyi. Tapi saya tak tergoda. Kemampuan mereka mengelola pemerintahan jauh lebih penting.

Lebih dari semua itu, saya suka menonton Piala Eropa karena hanya pada waktu itulah saya bisa menguasai televisi - dalam arti yang sebenar-benarnya. Istri saya yang suka sinetron dan anak-anak yang senang film kartun -- dan di sore hari memonopoli remote control -- sudah tidur semua. Sekarang saya bebas berlama-lama di depan tv tanpa terusik. Nikmat betul hidup ini sejak ada Euro .... ***

3 comments:

Anonymous said...

...please where can I buy a unicorn?

Anonymous said...

By no means is not present. I know.

Anonymous said...

Самый продвинутый ресурс для пользователей [url=http://torrents.trion.mk.ua]TTT[/url]