Monday, July 05, 2004

Pemilihan Presiden, Akhirnya ....

Oleh Wicaksono, wartawan Koran Tempo

Indonesia mengukir sejarah baru hari ini 5 Juli 2004. Untuk pertama kalinya sejak merdeka, rakyat melakukan pemilihan presiden secara langsung. Pelaksanaannya tepat seperti yang sudah dijadwalkan semula oleh Komisi Pemilihan Umum. Meski pemilihan susulan terpaksa dilakukan di beberapa tempat, perhelatan lima tahunan itu tak perlu mundur atau bahkan batal seperti dikhawatirkan semula.

Berbeda dari pemilu legislatif yang lalu, acara kemarin terlihat relatif lebih sepi. Ada dua kemungkinan. Pertama, banyak yang telat bangun karena menonton siaran langsung Piala Eropa antara Portugal dan Yunani pada dini hari.

Kemungkinan lain, tata cara pemilihan kali ini lebih sederhana ketimbang pemilu legislatif. Para pemilih cukup mencoblos satu kertas suara berisi gambar dan nama lima pasangan yang sudah dikenal. Waktu yang dihabiskan di bilik suara pun lebih singkat. Akibatnya, tak terlihat antrian di tempat pemungutan suara.

Meskipun demikian, pelaksanaan pemilihan presiden boleh dikatakan berlangsung aman dan lancar. Berjuta-juta orang yang terdaftar sebagai pemilih bebas menggunakan haknya di seluruh penjuru negeri, dari Aceh hingga Papua, tanpa gangguan berarti. Kita patut berterima kasih, bukan hanya kepada pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum, melainkan juga kepada semua pelaksana di lapangan yang bekerja dengan ikhlas demi suksesnya acara.

Memang, tak ada gading yang tak retak. Seperti pemilu terdahulu, masih saja ada beberapa cacat yang mestinya tak perlu terjadi. Praktek curang semacam serangan fajar, upaya partai politik membeli suara menjelang saat pencoblosan, masih terjadi di beberapa tempat. Kita berharap kepada yang berwenang untuk menindak para pelakunya dengan tegas dan menghukumnya sesuai dengan undang-undang. Insiden seperti ini tak perlu terjadi lagi di masa mendatang, karena hanya akan mencoreng demokrasi.

Sebentar lagi, kita akan bisa melihat hasil penghitungan suara dari Komisi Pemilihan Umum. Hasil penghitungan suara yang sekarang ini belum final. Ada kemungkinan pemilihan akan berlanjut ke putaran kedua September nanti, karena tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara di atas 50 persen.

Apa pun hasilnya nanti, kita harus menerimanya. Seandainya ada yang merasa telah terjadi kecurangan, silakan menyalurkannya melalui mekanisme yang telah diatur undang-undang. Tak perlu ribut atau gontok-gontokan. Kita akan mengucapkan selamat kepada siapa pun yang keluar sebagai pemenang. Calon yang kalah juga harus menerima kekalahan dengan lapang dada. Beginilah demokrasi, Bung! ***




Gubernur Abdullah Puteh Harus Nonaktif

Oleh Wicaksono untuk Koran Tempo

Komisi Pemberantasan Korupsi sudah menetapkan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Abdullah Puteh sebagai tersangka dalam kasus korupsi pembelian helikopter jenis MI-2 pada 28 Juni 2004. Komisi menetapkan status tersebut setelah memeriksa Puteh dan pejabat lain yang diduga terkait dalam kasus yang sama, di antaranya kepala kas dan bendahara Aceh.

Dalam kasus ini, Puteh diduga melakukan penggelembungan (mark up) harga helikopter jenis MI-2 merek PLC Rostov yang dibeli oleh Pemerintah Provinsi NAD dari PT Putra Pobiagan Mandiri pada tahun anggaran 2002. Helikopter ini dibeli dengan cara penunjukan langsung kepada PT tersebut.

Indikasi mark up itu muncul, menurut Komisi, karena pemerintah Aceh membeli helikopter tersebut senilai Rp 12,5 miliar. Padahal, untuk jenis helikopter yang sama, TNI Angkatan Laut membelinya dengan harga cuma Rp 6 miliar pada 2002. Komisi menduga Puteh mengantongi sekitar Rp 4 miliar dari pembelian heli itu.

Puteh sebenarnya juga sedang diperiksa dalam korupsi proyek genset senilai Rp 30 miliar. Dalam kasus ini Puteh diduga kuat terlibat korupsi yang merugikan negara lebih dari Rp 6 miliar. Proyek genset itu semula dimaksudkan untuk membantu masyarakat karena gardu pemasok dari PLN dibakar oleh GAM. Genset sudah dipasang, tetapi masyarakat tetap belum menikmati aliran listrik yang normal. Ternyata, genset yang didatangkan tidak sesuai dengan kebutuhan dan menyalahi kontrak.

Kontraktor pengadaan genset, William Taylor, sudah ditahan dalam kasus ini. Dari Taylor pulalah diketahui, sejumlah dana dikucurkan ke beberapa pejabat di Aceh. Berdasarkan pengakuan Taylor ini polisi kemudian memeriksa beberapa pejabat Aceh yang bersama Puteh diduga terkait dengan kasus korupsi itu, yakni Wakil Gubernur Azwar Abubakar, Sekretaris Daerah Tantowi, dan Kepala Biro Keuangan Tengku Lizam. Sejauh ini, Puteh belum ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus proyek genset.

Dari dua kasus itu jelas terlihat bahwa Puteh tak sendirian. Ada pejabat Aceh lain yang diduga terkait dengan kasus korupsi yang menjadikan Puteh sebagai tersangka. Komisi dan polisi seyogianya juga segera mengumumkan tersangka lain dalam waktu dekat. Aneh bila tidak. Mustahil Puteh melakukan korupsi sendirian. Apalagi bila itu menyangkut proyek besar dan melibatkan pihak ketiga.

Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno pernah mengatakan, Puteh bisa saja dinonaktifkan sebagai gubernur jika ia sudah ditetapkan sebagai tersangka. Kini hal itu sudah terjadi. Kita menunggu apakah Menteri Hari Sabarno akan benar-benar menonaktifkan Puteh dan pejabat-pejabat lain di lingkungan Provinsi NAD jika statusnya sudah menjadi tersangka.

Seandainya Menteri Hari tak juga melakukannya, kita berharap Komisi segera memerintahkan Menteri Hari untuk melakukannya, sesuai dengan haknya dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantas Tindak Pidana Korupsi.

Penonaktifan Puteh dan para pejabat lainnya yang sudah berstatus tersangka itu demi memperlancar pemeriksaan untuk menuju proses peradilan. Seandainya dalam proses pemeriksaan ternyata tidak ada bukti yang cukup untuk membawa Puteh ke pengadilan, ia bisa diaktifkan kembali. Namun, bila ternyata Puteh meningkat statusnya menjadi terdakwa dan harus diadili, apalagi sampai dihukum, bukan saja nonaktif, tetapi ia harus langsung diganti. Begitu juga dengan pejabat lainnya. Komisi dan polisi harus memperlakukan hal yang sama dan tidak pilih kasih. ***

Atasi Segera Kebakaran Hutan

Oleh Wicaksono untuk Koran Tempo

Bencana kebakaran hutan datang lagi di musim kering tahun ini. Asapnya menutup pandangan dan mengganggu kesehatan di sejumlah daerah. Di Riau, misalnya, asap kebakaran membuat sejumlah penerbangan dihentikan. Warga diimbau tak keluar rumah bila tak ada kepentingan mendesak supaya terhindar dari infeksi saluran pernapasan atas. Asap akibat kebakaran hutan di Indonesia juga terbang dan menurunkan derajat kesehatan lingkungan negeri tetangga, Singapura dan Malaysia.

Kebakaran hutan adalah bencana yang terjadi setiap tahun, khususnya pada musim kering. Kebakaran yang cukup besar pernah terjadi di Kalimantan Timur pada 1982/1983. Waktu itu sekitar 3,5 juta hektare hutan hangus. Ini rekor terbesar kebakaran hutan dunia setelah kebakaran hutan di Brasil yang mencapai 2 juta hektare pada 1963. Rekor dipecahkan oleh kebakaran di beberapa wilayah Indonesia pada 1997/1998 yang melalap 11,7 juta hektare hutan.

Bencana itu terus berlangsung setiap tahun, meskipun luas areal yang terbakar dan kerugian yang ditimbulkannya relatif kecil dan umumnya tidak terdokumentasi dengan baik. Data dari Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam menunjukkan bahwa kebakaran hutan yang terjadi tiap tahun sejak 1998 hingga 2002 tercatat berkisar antara 3.000 hektare dan 515 ribu hektare. Karena itu, kebakaran hutan tetap merupakan isu lingkungan yang penting.

Selain karena faktor alamiah, sudah jamak diketahui bahwa penyebab utama kebakaran hutan adalah kegiatan manusia, di antaranya sistem perladangan tradisional dari penduduk setempat yang berpindah-pindah, yang menggunakan metode pembakaran untuk membuka lahan. Namun, pembukaan lahan untuk perladangan tersebut umumnya sangat terbatas dan terkendali, karena telah mengikuti aturan turun-temurun.

Kebakaran yang lebih luas sangat mungkin terjadi karena kegiatan perladangan yang sebenarnya hanya kedok dari penebang liar yang memanfaatkan hak pengusahaan hutan (HPH) dan berada di kawasan HPH. Mereka bisa dari kalangan pemegang HPH untuk industri kayu maupun perkebunan kelapa sawit.

Mereka melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar semata berdasarkan pertimbangan ekonomis: cepat, murah, dan praktis. Selain itu, perkebunan besar melakukan pembakaran lahan untuk menaikkan derajat keasaman (pH) tanah. Pada kasus Riau, pembakaran hutan dilakukan karena pada umumnya tanahnya bergambut dengan pH 3-4 dan tidak cocok untuk ditanami kelapa sawit.

Celakanya, pemakaian metode itu sering berakibat kebakaran tidak hanya terbatas pada areal yang disiapkan untuk pengembangan tanaman industri atau perkebunan, tetapi meluas ke hutan lindung, hutan produksi, dan lahan lainnya. Karena itulah, sudah sepantasnya bila mereka dituding sebagai biang keladi kebakaran hutan.

Untuk itu, pemerintah pusat maupun daerah sebaiknya langsung mengambil tindakan yang nyata dan segera terhadap mereka, mumpung kebakaran hutan tahun ini belum begitu meluas. Jangan setengah-setengah, apalagi main mata dengan mereka.

Beberapa upaya nyata yang bisa dilakukan, antara lain melarang dengan tegas metode pembakaran dalam land clearing, mencabut izin usaha perusahaan yang melakukan pembakaran dalam pembukaan lahan. Hukum para penjahat lingkungan secara proporsional.

Jangan lupa, jatuhkan denda yang besar bagi perusahaan yang terbukti melakukan pembakaran. Uang denda ini bisa dipakai untuk memadamkan api. Bagi masyarakat yang menjadi korban asap, pemerintah perlu membuka posko kesehatan di setiap kecamatan dan menyediakan pengobatan gratis. ***