Monday, June 21, 2004

Mengapa Bukan Mega

Oleh Wicaksono untuk Koran Tempo

Kawan saya yang suka usil itu datang lagi. Dari wajahnya yang cengengesan, saya tahu, dia pasti mau iseng lagi. Tebakan saya yang tak meleset. "Sudah nonton Euro, Bung?" Bisa enggak, sampeyan sejajarkan tim-tim itu dengan para kandidat presiden?" Kawan saya langsung memberondong dengan pertanyaan jahil. Setengah ogah-ogahan saya jawab sekenanya. "Ah, kecil itu....!"

Italia itu seperti Wiranto. Keduanya tercipta dari sebuah kompetisi yang ketat: Liga Italia Seri A dan konvensi Partai Golkar. Track record mereka pun cukup meyakinkan. Berdiri sejak 1898, Tim Azzuri adalah juara Piala Eropa 1968 dan kampiun Piala Dunia 1934, 1938, dan 1982.

Begitu pula dengan Wiranto. Pernah menjadi ajudan bekas orang nomor satu Indonesia Soeharto, karier Wiranto menanjak terus, dari Panglima Kodam Jaya, Panglima Komando Strategi Angkatan Darat, Kepala Staf Angkatan Darat, Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima TNI, dan terakhir menjadi Menteri Politik dan Keamanan.

Keduanya memiliki corak permainan yang mirip. Tradisi sepak bola Italia adalah bertahan, catennacio. Gaya ini mereka pertahankan selama bertahun-tahun, sampai kemudian pelatih tim nasional Italia Giovanni Trapattoni memberi sentuhan corak permainan baru.

Wiranto kini juga harus defensif menghadapi terpaan pelbagai isu, dari soal pelanggaran HAM di Timor Timur hingga soal Pam Swakarsa. Lawan-lawan politiknya nyaris tanpa henti menggoyang Wiranto, termasuk mengedarkan video yang isinya menjelek-jelekkan Wiranto.

Si kuda hitam Denmark lebih mirip Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY. Denmark baru menyodok ke jajaran tim elit dunia sekitar 1970-an. Padahal federasi sepak bolanya sudah berdiri sejak 1889. Revolusi sepak bola Denmark ditandai oleh kemunculan Allan Simonsen yang terpilih sebagai pemain terbaik Eropa pada 1977.

Sejak itu Denmark sering disebut-sebut sebagai tim dinamit yang siap memporak porandakan tim-tim tangguh, seperti yang pernah ditunjukkannya pada Piala Dunia 1986. Waktu itu di bawah asuhan pelatih Sepp Piontek, Denmark muncul sebagai kekuatan baru dengan pemain-pemain seperti Morten Olsen, Preben Elkjaer, dan Michael Laudrup yang ketika itu baru berusia 19 tahun.

SBY juga begitu. Pada mulanya SBY bukan siapa-siapa di ranah politik. Dia baru memperoleh perhatian dan simpati secara luas ketika teraniaya. Itu terbukti setelah Partai Demokrat yang mendukungnya mampu menyodok partai-partai politik lama dalam pemilu legislatif.

Namun, SBY belum benar-benar teruji sebagai pemimpin politik seperti halnya Denmark yang juga belum sekalipun menjuarai Piala Dunia. Meskipun demikian, bukan tak mungkin ia bisa menjadi kuda hitam yang perlu diwaspadai lawan-lawannya - persis seperti Denmark.

Pada pertemuan pertama di babak penyisihan Euro 2004, Italia dan Denmark bermain imbang 0-0. Akankah persaingan Wiranto-SBY di ajang pemilihan presiden berakhir dengan skor sama?

Kalau tim Bulgaria kurang lebih sama dengan Hamzah Haz. Peluangnya paling banter hanya sampai babak pertama. Fakta berbicara. Baru sekali main, anak-anak Bulgaria langsung dihajar Swedia 5-0.

Prancis mengingatkan saya pada Amien Rais. Tim juara bertahan ini makin hari makin matang saja permainannya - seperti Amien yang kian tenang penampilannya. Sayang, Dewi Fortuna kadang ogah menghampiri mereka.

"Kenapa Amien Rais, Bung? Mengapa bukan Megawati yang mirip Prancis? Bukankah Prancis dan Mega sama-sama juara bertahan? Sampeyan tim sukses Amien, ya?" tanya kawan saya curiga.

"Bukan begitu, Bung!" jawab saya. "Asal tahu saja, sepanjang sejarah Piala Eropa, belum pernah ada tuh, tim perempuan." Kawan saya melongo. ***

No comments: