Oleh Wicaksono untuk Koran Tempo
Komisi Pemberantasan Korupsi sudah menetapkan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Abdullah Puteh sebagai tersangka dalam kasus korupsi pembelian helikopter jenis MI-2 pada 28 Juni 2004. Komisi menetapkan status tersebut setelah memeriksa Puteh dan pejabat lain yang diduga terkait dalam kasus yang sama, di antaranya kepala kas dan bendahara Aceh.
Dalam kasus ini, Puteh diduga melakukan penggelembungan (mark up) harga helikopter jenis MI-2 merek PLC Rostov yang dibeli oleh Pemerintah Provinsi NAD dari PT Putra Pobiagan Mandiri pada tahun anggaran 2002. Helikopter ini dibeli dengan cara penunjukan langsung kepada PT tersebut.
Indikasi mark up itu muncul, menurut Komisi, karena pemerintah Aceh membeli helikopter tersebut senilai Rp 12,5 miliar. Padahal, untuk jenis helikopter yang sama, TNI Angkatan Laut membelinya dengan harga cuma Rp 6 miliar pada 2002. Komisi menduga Puteh mengantongi sekitar Rp 4 miliar dari pembelian heli itu.
Puteh sebenarnya juga sedang diperiksa dalam korupsi proyek genset senilai Rp 30 miliar. Dalam kasus ini Puteh diduga kuat terlibat korupsi yang merugikan negara lebih dari Rp 6 miliar. Proyek genset itu semula dimaksudkan untuk membantu masyarakat karena gardu pemasok dari PLN dibakar oleh GAM. Genset sudah dipasang, tetapi masyarakat tetap belum menikmati aliran listrik yang normal. Ternyata, genset yang didatangkan tidak sesuai dengan kebutuhan dan menyalahi kontrak.
Kontraktor pengadaan genset, William Taylor, sudah ditahan dalam kasus ini. Dari Taylor pulalah diketahui, sejumlah dana dikucurkan ke beberapa pejabat di Aceh. Berdasarkan pengakuan Taylor ini polisi kemudian memeriksa beberapa pejabat Aceh yang bersama Puteh diduga terkait dengan kasus korupsi itu, yakni Wakil Gubernur Azwar Abubakar, Sekretaris Daerah Tantowi, dan Kepala Biro Keuangan Tengku Lizam. Sejauh ini, Puteh belum ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus proyek genset.
Dari dua kasus itu jelas terlihat bahwa Puteh tak sendirian. Ada pejabat Aceh lain yang diduga terkait dengan kasus korupsi yang menjadikan Puteh sebagai tersangka. Komisi dan polisi seyogianya juga segera mengumumkan tersangka lain dalam waktu dekat. Aneh bila tidak. Mustahil Puteh melakukan korupsi sendirian. Apalagi bila itu menyangkut proyek besar dan melibatkan pihak ketiga.
Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno pernah mengatakan, Puteh bisa saja dinonaktifkan sebagai gubernur jika ia sudah ditetapkan sebagai tersangka. Kini hal itu sudah terjadi. Kita menunggu apakah Menteri Hari Sabarno akan benar-benar menonaktifkan Puteh dan pejabat-pejabat lain di lingkungan Provinsi NAD jika statusnya sudah menjadi tersangka.
Seandainya Menteri Hari tak juga melakukannya, kita berharap Komisi segera memerintahkan Menteri Hari untuk melakukannya, sesuai dengan haknya dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantas Tindak Pidana Korupsi.
Penonaktifan Puteh dan para pejabat lainnya yang sudah berstatus tersangka itu demi memperlancar pemeriksaan untuk menuju proses peradilan. Seandainya dalam proses pemeriksaan ternyata tidak ada bukti yang cukup untuk membawa Puteh ke pengadilan, ia bisa diaktifkan kembali. Namun, bila ternyata Puteh meningkat statusnya menjadi terdakwa dan harus diadili, apalagi sampai dihukum, bukan saja nonaktif, tetapi ia harus langsung diganti. Begitu juga dengan pejabat lainnya. Komisi dan polisi harus memperlakukan hal yang sama dan tidak pilih kasih. ***
No comments:
Post a Comment