Akhir-akhir ini saya mulai banyak melihat tulisan (buku, situs web) yang membahas dampak teknologi terhadap jurnalisme. Saya sendiri tidak mengerti bidang jurnalisme, tetapi lebih banyak bergelut di dunia teknologinya. Contoh teknologi baru yang 'dipermasalahkan' antara lain adalah Internet, blog dan RSS. Soal Internet tidak perlu saya bahas karena sudah banyak pembahasannya.
Fenomena blog mirip dengan euforia pada awal munculnya World Wide Web. Orang rame-rame membuat homepage (waktu itu nama kerennya memang homepage). Hanya bedanya waktu itu untuk membuat sebuah homepage dibutuhkan kemampuan menulis artikel dalam format HTML. Sekarang, untuk membuat sebuah blog sudah sangat mudah. Kita tinggal mengetikkan isinya seperti menulis dengan menggunakan wordprocessor. Akibatnya, siapa saja dapat menjadi penulis dengan pembaca dari seluruh penjuru dunia. Penulis ini bisa menjadi wartawan (amatir?). Mengapa perlu mengirimka seorang wartawan ke tempat kejadian kalau kita bisa mengambil informasi dari blog orang yang memang berasal dari tempat kejadian?
RSS merupakan singkatan dari Really Simple Syndication. Secara sederhananya, blog (atau situs web) dapat menyediakan mekanisme untuk melakukan sindikasi dengan mudah. Anda dapat mengambil artikel dari berbagai tempat dan melakukan konsolidasi secara otomatis dengan menggunakan RSS ini. Artinya, anda bisa membuat portal yang isinya ditarik dari berbagai tempat dengan menggunakan RSS ini. Untuk membuat seperti detik.com hanya membutuhkan waktu singkat (kurang dari 1 hari?).
Apakah media konvensional masih dibutuhkan? Saya jadi ingat lagu lama dari the Buggles, "Video killed the Radio Star". Ternyata tidak menjadi kenyataan. Bahkan MTV makin mempopulerkan radio star. Nampaknya media konvensional masih akan dibutuhkan. Tapi soal anda dibutuhkan atau tidak, itu lain cerita.
No comments:
Post a Comment