oleh Wicaksono untuk Koran Tempo
SEORANG kawan mengajukan pertanyaan menggoda. "Seandainya sampeyan manajer salah satu tim sepak bola dan mempunyai pemain yang terdiri dari para kandidat presiden dan wakil presiden Indonesia, bagaimana sampeyan akan menyusun tim?"
Sedetik saya terperangah. Saya tahu, ia pasti bercanda. Maklum, sekarang lagi lagi hangat-hangatnya kampanye para calon presiden dan wakilnya. Saat yang sama, di Portugal sana, ada kejuaraan yang membuat jutaan pasang mata memelototi televisi setiap hari: Piala Eropa 2004. Sudah jamak, orang biasanya suka mengkaitkan-kaitkan dua momen itu, meskipun ada kesan mengada-ada. Tapi bolehlah, buat iseng-iseng apa salahnya? Apalagi, kawan saya itu, terlihat penasaran begitu saya bilang, "Ah, gampang itu."
Pertama, Megawati Soekarnoputri akan jadi pilihan pertama saya di bawah mistar gawang. Mega saya pilih supaya tak perlu berlari ke sana kemari menggiring bola, mengirim umpan, menciptakan peluang, dan melesakkan bola ke gawang lawan. Cukup jaga gawang saja supaya tak kebobolan. Peran ini cocok seperti yang ditunjukkannya selama ini sebagai presiden. Diam dan pasif. Biarlah peran mengatur serangan, memutuskan tempo permainan, dan urusan mencetak gol dilakukan pemain lain.
Untuk pemain belakang, saya pilih Salahuddin Wahid, Wiranto, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Hasyim Muzadi. Sebagai eks tentara, jelas Wiranto dan SBY cakap mengamankan apa saja, termasuk gawangnya. Mereka pasti tak kenal kompromi.
Salahuddin dan Hasyim juga duet yang tak bisa dipandang enteng. Hasyim Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, organisasi massa besar dengan pengikut jutaan nahdliyin. Solahuddin juga orang NU, sekaligus eks anggota kelompok pecinta alam Wanadri. Apalagi dia adik Abdurrahman Wahid yang juga tokoh panutan NU. Kurang apa coba? Mereka pasti mampu menjinakkan serangan dari delapan penjuru angin, apa pun jenisnya, baik yang kasat mata maupun tidak. Tendangan geledek penyerang lawan pasti akan berhasil mereka redam dengan kesejukan.
Ada kurangnya memang. SBY dikenal sebagai orang yang peragu. Karena itu, ia perlu didampingi orang kuat, yang punya pengalaman memimpin pasukan seperti Wiranto yang mantan Panglima TNI. Tapi Wiranto punya banyak masalah, sehingga saya khawatir konsentrasi permainannya terganggu. Dia juga mesti didampingi orang yang dingin seperti SBY. Saya juga khawatir Salahuddin dan Hasyim kurang kompak menggalang pertahanan. Mereka bisa rebutan bola sendiri, seperti halnya mereka berebut suara para nahdliyin sekarang.
Agum Gumelar, Hamsyah Haz, Siswono Yudohusodo, dan Jusuf Kalla cukup jadi pemain tengah saja, sesuai yang mereka capai selama ini di pemerintahan. Mereka tak pernah jadi bintang, tapi tetap punya peranan, seperti kebanyakan para pemain tengah. Kalaupun mereka tak ada, roda pemerintahan toh tetap berjalan.
Nah, Amien Rais saya pasang sebagai striker. Sebagai politikus Amien terkenal pandai bermanuver. Ingat nggak sewaktu dia menggalang poros tengah untuk memuluskan jalan Abdurrahman Wahid ke Istana? Ia licin bagai belut kecebur oli. Tangkas berkelit dari sliding lawan. Kiper mana pun pasti terkecoh.
Memang ada kelemahannya. Sebagai orang yang dikenal bersih, Amien tentu kurang lihai melakukan diving untuk mengelabui wasit demi mendapatkan hadiah penalti. Tapi, siapa lagi kalau bukan dia yang cocok di depan?
"Oke, tapi satu lagi siapa? Pemain sepak bola kan harus sebelas, sementara sampeyan cuma punya 10?" kawan saya menyanggah.
"Ah, ini kan juga cuma seandainya ...." saya menjawab sambil berlalu. ***
No comments:
Post a Comment